TIMES JAKARTA, JAKARTA – Banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan hanya meninggalkan jejak fisik dan psikologis bagi masyarakat, tetapi juga tamparan keras bagi sistem penanggulangan bencana nasional. Ketika bencana menghantam, negara diharapkan hadir bukan sekadar mengirim logistik, tetapi juga mengirimkan empati.
Dalam suasana duka seperti ini, kepemimpinan BNPB menjadi kunci, sebab pemimpinnya bukan hanya manajer sumber daya melainkan simbol kehadiran negara ketika masyarakat berada pada titik paling rapuh.
Namun, gelombang kritik publik yang mengemuka dalam beberapa hari terakhir menunjukkan adanya persoalan serius dalam kepemimpinan BNPB saat ini. Kritik tersebut bukan sekadar ketidakpuasan, melainkan kegelisahan mendalam bahwa sensitivitas kemanusiaan, komunikasi publik, dan efektivitas koordinasi lintas lembaga belum mencerminkan standar ideal sebuah lembaga yang memikul mandat penyelamatan jiwa.
Kepercayaan publik adalah modal sosial paling penting dalam operasi darurat. Tanpa kepercayaan, koordinasi di lapangan melemah, relawan kehilangan motivasi, dan masyarakat enggan bekerja sama dengan mekanisme negara. Karena itu, pemimpin BNPB idealnya hadir sebagai penghela solidaritas nasional yang sigap secara teknis sekaligus hangat secara emosional.
Dinamika pemberitaan, kritik publik, dan sejumlah gestur kelembagaan dalam beberapa momentum bencana terakhir menunjukkan bahwa citra BNPB sedang berada pada titik yang rentan. Padahal lembaga ini dibangun dengan susah payah selama satu dekade lebih hingga diakui publik sebagai salah satu lembaga dengan kemajuan pesat dalam sistem kebencanaan modern di Asia.
Kegelisahan publik hari ini bukan tentang mempertentangkan militer dan sipil, melainkan tuntutan agar siapa pun yang memimpin BNPB-entah sipil maupun militer- adalah figur terbaik yang memadukan ketegasan profesional dengan kepekaan kemanusiaan.
Sejarah BNPB pernah mencatat fase keemasan ketika lembaga ini dipimpin figur visioner, termasuk dari kalangan militer, yang membangun jejaring sipil-militer yang solid, memperkuat sistem komando terpadu, dan menjadikan relawan mitra strategis negara. Kemajuan itu tidak lahir sendirian, melainkan dari karakter pemimpin yang merangkul semua unsur, bukan menganggap mereka sebagai variabel bawahan.
Paradigma itulah yang menurut banyak pemerhati kebencanaan perlu dipulihkan. Evaluasi terhadap kepemimpinan hari ini bukan untuk menyalahkan individu, tetapi untuk memastikan arah lembaga tidak semakin menjauh dari marwahnya sebagai penjaga kemanusiaan.
Ketika Rekam Jejak Bicara
Dalam konteks inilah, nama Mayjen TNI Dr. Farid Makruf, M.A. mengemuka sebagai figur profesional yang dinilai memiliki kombinasi ketangguhan operasional dan sensitivitas kemanusiaan.
Track record jenderal bintang dua yang kini menjabat sebagai Tenaga Ahli Pengkaji Bidang Sumber Kekayaan Alam Lemhannas RI ini, tidak dibangun di atas rapat konferensi, melainkan ditempa oleh pengalaman langsung memimpin operasi penanganan bencana besar.
Sejak awal karier militernya, Farid menunjukkan ketertarikan pada bidang kemanusiaan. Pada 2005 ia mengikuti seminar Disaster Relief di Jepang, lalu melanjutkannya dalam seminar serupa di Beijing pada 2011. Namun, "ujian sesungguhnya" bagi Farid Makruf datang pada tahun 2016 ketika banjir besar melanda Kota Bima.
Saat itu kota terisolasi total dimana jalur darat terputus, komunikasi lumpuh, masyarakat kesulitan memperoleh makanan dan air bersih. Farid yang ketika itu menjabat sebagai Danrem 162/Wira Bhakti, ditunjuk sebagai Dansatgas Penanggulangan Bencana Banjir.
Dalam situasi kritis itu ia mengorganisir kekuatan TNI-Polri, relawan, serta meminta dukungan pasukan dan alat berat dari Mabes TNI untuk membersihkan residu banjir, membuka akses vital, membangun jembatan dan jalan darurat, serta mendirikan dapur umum dan layanan pengobatan massal.
Dalam waktu singkat, kondisi Kota Bima pulih mendekati normal. Pengalaman inilah yang kelak membentuk kerangka kepemimpinannya dalam bencana bahwa negara hadir dengan empati dan kecepatan, bukan sekadar laporan situasi.
Ketika memimpin penanganan gempa Lombok serta gempa yang diikuti tsunami dan fenomena likuefaksi di Palu dan Donggala, Farid menggagas Rumah Relawan, sebuah model community supporting system yang mempertemukan organisasi masyarakat sipil dengan struktur komando militer tanpa menghilangkan kemandirian relawan. Hingga kini grup komunikasi Rumah Relawan masih aktif, menandai keberlanjutan warisan manajerial yang jarang terjadi dalam operasi militer selain perang.
Secara konseptual, kapasitas Farid juga mapan. Ia menulis working paper Operasi Militer Selain Perang dalam Penanggulangan Bencana (2021); Civil-Military Coordination dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia (2022); dan tugas karya perseorangan (taskap) Lemhannas berjudul Peran TNI dalam Penanggulangan Bencana di Indonesia. Semua karya tersebut berangkat dari pengalaman langsung memimpin operasi kemanusiaan di lapangan.
Pola kepemimpinannya konsisten dimana militer tidak menjadi pusat bencana, melainkan katalis sinergi masyarakat. Di tengah turunnya kepercayaan publik terhadap lembaga kebencanaan, model seperti inilah yang dibutuhkan.
Krisis banjir Sumatera juga membuka mata kita bahwa bencana tidak hanya soal duka, tetapi juga soal ekonomi. Kerugian di Aceh, Sumut, dan Sumbar mencapai Rp 2,2 triliun hanya untuk tiga sektor utama, sementara secara nasional dampaknya diperkirakan menyentuh Rp 68,6 triliun akibat terganggunya transportasi, distribusi, dan konsumsi rumah tangga.
Temuan CELIOS (2025) menunjukkan penurunan PDRB regional Aceh mencapai Rp 2,04 triliun yang berarti lebih besar daripada pendapatan dari tambang dan sawit yang selama ini digadang-gadang menjadi sumber pembangunan.
Dalam situasi sebesar ini, keberhasilan penanganan bencana bukan lagi sekadar urusan logistik dan komando, tetapi urusan menyelamatkan keberlanjutan ekonomi nasional dan stabilitas sosial. Di sinilah kita memerlukan pemimpin BNPB yang memahami bencana sebagai krisis kemanusiaan sekaligus krisis pembangunan.
Usulan pergantian pimpinan BNPB tentu bukan seruan emosional apalagi politis. Ini adalah aspirasi publik dan kalangan profesional kebencanaan yang ingin melihat agar BNPB kembali dipercaya rakyat; respons bencana kembali cepat, empatik, dan terstruktur; sinergi sipil-militer kembali harmonis serta pemimpin kembali hadir sebagai penopang psikologis Masyarakat, terutama setelah komunikasi publik yang tidak perlu dari Lembaga terkait, sehingga menimbulkan kegaduhan di tengah masyarakat yang sedang berduka.
Jika pergantian kepemimpinan memang menjadi prasyarat untuk mengembalikan hal-hal tersebut, maka langkah itu sepatutnya diambil secara berani dan bermartabat.
Bangsa ini telah berulang kali diuji oleh bencana. Namun yang paling menyakitkan bukan bencananya, melainkan ketika negara terlihat tidak turut berduka bersama rakyatnya. BNPB harus kembali menjadi simbol pelindung rakyat. Untuk itu, figur pemimpinnya harus membuat masyarakat merasa bahwa, “Negara ada. Negara peduli. Negara bersama kita.
Apabila pemilihan pemimpin baru diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan itu, maka keputusan tersebut bukan hanya rasional, tetapi moral.
***
*) Oleh : Bustomi, Direktur Eksekutif Institute for Strategic and Political Studies (INTRAPOLS) dan Mahasiswa Program Doktoral FISIP Universitas Airlangga.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |