https://jakarta.times.co.id/
Opini

Resolusi Teh Nusantara

Jumat, 23 Mei 2025 - 15:45
Resolusi Teh Nusantara Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Teh pertama kali ditemukan di Tiongkok ribuan tahun lalu oleh Kaisar Shen Nung pada 2737 SM, yang secara tak sengaja menyeduh daun Camellia sinensis ke dalam air panas. Sejak saat itu, tradisi minum teh berkembang pesat, terutama pada masa Dinasti Tang, dan menyebar ke Jepang serta ke seluruh dunia melalui jalur perdagangan. 

Teh kemudian diadopsi dalam beragam bentuk dan tradisi, mulai dari afternoon tea di Inggris, chai di India, hingga teh poci di Tegal, menegaskan posisi teh sebagai bagian dari warisan budaya global. Pada abad ke-17, teh menjadi komoditas bernilai tinggi dan ditanam secara besar-besaran di wilayah koloni seperti India, Sri Lanka, dan Indonesia. 

Kini, teh menjadi minuman terbanyak kedua yang dikonsumsi di dunia setelah air putih, dengan 5 miliar cangkir diminum setiap hari. Namun di balik itu, jutaan petani kecil bergantung pada industri ini, termasuk di Indonesia yang tengah menghadapi tantangan berat seperti menurunnya produktivitas, krisis regenerasi petani, dan tekanan persaingan global.

Hari Teh Internasional yang diperingati setiap 21 Mei berawal dari gerakan solidaritas petani teh di India pada 2005 dan kemudian diresmikan oleh PBB pada 2019. Peringatan ini tidak hanya merayakan teh sebagai minuman dunia, tetapi juga menyerukan pembangunan industri teh yang lebih adil, berkelanjutan, dan inklusif. 

Tujuan utamanya adalah mengurangi kemiskinan, memperkuat peran perempuan di sektor pertanian, serta melestarikan lahan-lahan teh yang menjadi sumber penghidupan jutaan orang. Dengan demikian, Hari Teh Internasional menjadi lebih dari sekadar selebrasi budaya, namun momentum penting untuk merumuskan arah masa depan industri teh yang tangguh, berkeadilan, dan berpihak pada petani.

Produksi dan Perdagangan Teh Global

Industri teh global menunjukkan pertumbuhan moderat, dengan produksi mencapai 6,8 juta ton pada 2023 menurut FAO. Peningkatan ini didorong oleh naiknya produksi teh hijau dan varietas non-hitam yang mampu mengimbangi penurunan teh hitam, terutama dari Sri Lanka. 

Permintaan teh dunia pun tumbuh sekitar 2% pada 2022, seiring dengan pulihnya daya beli global dan meningkatnya impor di beberapa negara. Meskipun 75% produksi teh dikonsumsi di dalam negeri masing-masing produsen, perdagangan internasional tetap signifikan dengan nilai ekspor-impor mencapai USD 9,2 miliar. 

Asia, khususnya Tiongkok dan India, menjadi pusat produksi utama, diikuti Kenya dan Sri Lanka. Industri ini melibatkan sekitar 13 juta orang, di mana 9 juta di antaranya adalah petani kecil yang menyumbang sekitar 60% dari total produksi dunia, menegaskan pentingnya dukungan terhadap mereka demi menciptakan rantai pasok yang adil dan berkelanjutan.

Di Indonesia, teh diperkenalkan sejak era kolonial Belanda, dimulai dengan pendirian Kebun Percobaan Gambung pada 1826. Sejak itu, teh berkembang pesat di wilayah Priangan dan dataran tinggi Nusantara, menjadikan Hindia Belanda salah satu eksportir utama teh dunia pada akhir abad ke-19. 

Tradisi ini tidak hanya membentuk struktur ekonomi kolonial, tetapi juga menciptakan budaya minum teh yang khas, seperti teh poci di Tegal dan upacara patehan di keraton. Saat ini, meskipun posisinya menurun, Indonesia masih menjadi produsen teh ketujuh terbesar dunia dengan produksi sekitar 134 ribu ton per tahun. 

Sekitar 60% produksi berasal dari kebun rakyat yang melibatkan lebih dari 300 ribu petani. Meskipun kontribusinya terhadap PDB nasional hanya sekitar 0,3%, teh tetap menjadi sumber penghidupan penting bagi ribuan keluarga di daerah penghasil, sekaligus penopang ekonomi pedesaan.

Di sektor perdagangan, nilai ekspor teh Indonesia pada 2023 mencapai US$139,6 juta, turun 15% dibanding tahun sebelumnya akibat melemahnya permintaan global, terutama untuk teh hitam. Penurunan ini melanjutkan tren jangka panjang sejak 2010. Pangsa pasar Indonesia turut tergeser oleh negara pesaing seperti Vietnam dan Rwanda, sementara ironisnya Indonesia mulai mengimpor teh dari luar, terutama dari Vietnam. 

Meskipun demikian, pasar seperti Malaysia dan Rusia tetap menjadi tujuan utama ekspor Indonesia. Ke depan, diversifikasi pasar dan produk perlu ditingkatkan agar ketergantungan pada segelintir negara tidak menjadi hambatan bagi pertumbuhan.

Dinamika dan Tantangan Industri Teh Nasional Saat Ini

Industri teh Indonesia saat ini menghadapi berbagai tantangan serius di sektor hulu yang memengaruhi produktivitas dan keberlanjutan. Sebagian besar tanaman teh berusia di atas 50 tahun, menyebabkan penurunan hasil kebun secara signifikan.

Regenerasi tenaga kerja pun menjadi persoalan besar, karena mayoritas petani dan pemetik teh kini sudah lanjut usia, sementara minat generasi muda terhadap pertanian teh sangat rendah. 

Anak muda cenderung memilih komoditas lain yang dianggap lebih menguntungkan, seperti sayuran. Selain itu, alih fungsi lahan ke tanaman pangan atau permukiman turut mempersempit area kebun teh, mengancam kelangsungan budidaya teh dalam jangka panjang.

Rendahnya harga jual daun teh di tingkat petani, berkisar antara Rp1.800–2.400/kg, membuat insentif untuk merawat kebun menjadi lemah. Rantai distribusi yang panjang dan dominasi tengkulak menyebabkan posisi tawar petani semakin terpinggirkan, sementara keuntungan lebih banyak dinikmati oleh pengolah dan distributor. 

Di sisi lain, perubahan iklim juga memberikan tekanan tambahan, dengan curah hujan yang tidak menentu dan peningkatan suhu yang mengganggu pertumbuhan pucuk teh. Kondisi ini membuat petani kesulitan memprediksi musim panen serta menjaga kualitas hasil, memperburuk ketidakpastian dalam produksi.

Namun, di tengah tantangan tersebut, hilirisasi dan inovasi membuka peluang baru bagi kebangkitan industri teh nasional. Produk olahan seperti teh celup, minuman siap saji, dan teh premium mulai menyumbang signifikan terhadap ekspor dan konsumsi domestik. 

Perusahaan besar seperti PT Sinar Sosro dan PT Mayora Indah berhasil memperluas pasar, sementara merek seperti Javara membawa teh organik Indonesia ke pasar global dengan nilai jual tinggi. Diversifikasi produk ke arah kosmetik, kesehatan, dan minuman herbal seperti rosella atau matcha lokal menunjukkan potensi besar. 

Untuk memperkuat daya saing, strategi pemasaran modern, kampanye kesadaran konsumen, dan pencitraan berbasis cerita asal-usul perlu digalakkan, termasuk ekspansi ke pasar premium seperti Jepang, Eropa, dan Timur Tengah. Dengan langkah strategis ini, teh Indonesia dapat lepas dari ketergantungan pada pasar komoditas murah dan membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan bernilai tambah tinggi.

Kolaborasi dalam Revitalisasi Teh

Mengatasi tantangan kompleks industri teh Indonesia memerlukan sinergi kuat antar pemangku kepentingan. Pemerintah, BUMN, dan lembaga litbang harus bekerja sama dalam mendorong transformasi sektor teh dari hulu ke hilir. Program Peremajaan Kebun Teh Rakyat (P2KTR) sejak 2023 menjadi salah satu contoh langkah konkret yang patut diapresiasi. 

Dengan dukungan KUR berbunga rendah, program ini telah menunjukkan dampak positif di beberapa daerah, seperti Wonosobo, yang mencatat peningkatan produktivitas dua kali lipat setelah penggunaan varietas unggul Tambi 1 dan Tambi 2 yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar (sekarang menjadi BRMP). Ini membuktikan bahwa intervensi terarah berbasis teknologi mampu meningkatkan hasil dan pendapatan petani.

Peran Kementerian Pertanian, BUMN seperti PTPN juga sangat penting, khususnya dalam modernisasi perkebunan dan efisiensi produksi. Penerapan precision agriculture berbasis IoT di PTPN VIII menjadi contoh bahwa digitalisasi pertanian bisa meningkatkan produktivitas sekaligus mengurangi risiko gagal panen. 

Model smart plantation ini perlu dikembangkan lebih luas, termasuk di perkebunan rakyat melalui kemitraan strategis. Di saat yang sama, lembaga litbang seperti BRMP Tanaman Industri dan perguruan tinggi memainkan peran kunci dalam menghadirkan varietas unggul serta inovasi proses pascapanen yang lebih baik dan meningkatkan efisiensi.

Dukungan kebijakan yang berpihak pada petani juga menjadi kunci. Pemerintah perlu mempertimbangkan insentif seperti harga acuan dan subsidi input agar petani tetap terdorong bertahan di sektor teh. Program regenerasi petani, seperti Petani Milenial, dan perlindungan tata ruang pertanian teh juga penting untuk menjaga keberlanjutan jangka panjang. 

Momen Hari Teh Internasional 2025 menjadi pengingat bahwa secangkir teh tidak hanya soal minuman, tetapi kisah tentang kerja keras, budaya, dan harapan masa depan. Dengan kolaborasi lintas sektor, teh Indonesia dapat kembali harum di pasar global dan memberikan kesejahteraan nyata bagi para petaninya.

***

*) Oleh : Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.