TIMES JAKARTA, JAKARTA – Saat ini media sedang ramai membahas persoalan Ferienjob yang diselenggarakan oleh PT. Sinar Harapan Bangsa (SHB) dan CV-Gen. Substansi persoalan tersebut terkait pelanggaran kegiatan magang di Jerman yang dilakukan oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang ternyata terindikasi bukan magang tapi bekerja. Persoalan ini secara hukum kemudian masuk dalam kategori Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Setidaknya ada 33 perguruan tinggi di Indonesia yang menjadi korban dari program yang ditawarkan PT. SHB dan CV-Gen.
Perlu diketahui, program Ferienjob sendiri legal dalam lembaga ketenagakerjaan Jerman yang bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa bekerja dan mendapat uang tambahan saat libur perkuliahan. Namun rupanya PT. SHB dan CV-Gen mengatakan bahwa Ferienjob merupakan program magang yang dapat diikuti oleh mahasiswa di Indonesia. Atas perbedan konteks inilah, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) pada Mei 2023 lalu menyurati Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi, Kemendikbudristek untuk mengimbau Perguruan Tinggi di Indonesia menghentikan keikutsertaan dalam program Ferienjob, baik yang sedang berlangsung, maupun yang akan berlangsung. Dinyatakan bahwa Program Ferienjob bukan aktivitas magang namun bekerja dan juga tidak memenuhi kriteria untuk dapat dikategorikan dalam aktivitas Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Sehingga inilah yang membuat adanya indikasi TPPO dalam kegiatan bekerja pada modus magang.
Berdasarkan data dari Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menyebut, jumlah TPPO di 2023 sebanyak 982 perkara atau meningkat 837 perkara dari 2022, yakni sebanyak 145 perkara. Sementara jumlah korban, juga mengalami kenaikan dari 668 orang di 2022 menjadi 3.208 orang di 2023. Sementara menurut data Kementerian Luar Negeri (Kemlu) mencatat ada peningkatan kasus TPPO dari 2021 sebanyak 361 kasus kemudian meningkat menjadi 752 kasus di tahun 2022.
Persoalan pelanggaran magang yang kemudian berujung kasus TPPO dalam dunia pendidikan sudah lama terjadi. Bahkan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah mengatakan TPPO dengan modus magang sudah terjadi sejak 15 tahun lalu yang didominasi menyasar siswa dan mahasiswa di Indonesia (Kompas, 8/7/2023). Misalnya saja pada tahun 2023, terjadi kasus TPPO pada SMK N 1 Sasak Jurusan Pelayaran untuk bekerja di kapal pesiar di luar negeri, dimana pihak sekolah ditawari oleh satu perusahaan mengenai program magang di kapal pesiar bagi peserta didiknya.
Kasus serupa di 2023 juga terjadi pada mahasiswa Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh yang magang di Jepang namun ternyata dijadikan pekerja atau buruh oleh pihak perusahaan atau agensi yang bekerjasama dengan kampus. Lalu tahun 2021, peserta didik di SMKN 2 Depok yang menjadi peserta Program Training Industri Korea juga menjadi korban TPPO. Lalu di tahun 2017, 152 pelajar SMK di Kendal, Jawa Tengah turut menjadi korban TTPO di Malaysia oleh pihak perusahaan yang menawari kerjasama dengan sekolah – sekolah di Kendal.
Beberapa kasus TPPO di atas yang dialami oleh institusi pendidikan tentu menjadi evaluasi bersama terkait program magang, baik bagi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dan institusi pendidikan di Indonesia. Bercermin dari banyaknya masalah magang yang berujung TPPO dalam dunia institusi pendidikan, maka perlu hadirnya regulasi hukum yang jelas terkait program pemagangan untuk tujuan akademis atau pendidikan. Sebab selama ini regulasi hukum yang ada baru mengatur pemagangan yang bertujuan untuk pelatihan kerja sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 1 ayat 11, Pasal 21 – 27 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Pemagangan di Dalam Negeri. Sehingga melalui regulasi hukum yang ada, kedepannya pelaksanaan pemagangan untuk tujuan akademis atau pendidikan yang dilakukan oleh institusi pendidikan dapat dengan tegas ruang lingkupnya.
Harus diakui, ruang lingkup magang dalam dunia institusi pendidikan masih samar dan kadang selama ini peserta didik yang melakukan magang di suatu perusahaan atau industri atau institusi pemerintah pada akhirnya melakukan aktivitas layaknya bekerja. Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 1 ayat 11 disebutkan bahwa “Pemagangan adalah bagian dari sistem pelatihan kerja yang diselenggarakan secara terpadu antara pelatihan di lembaga pelatihan dengan bekerja secara langsung di bawah bimbingan dan pengawasan instruktur atau pekerja/buruh yang lebih berpengalaman, dalam proses produksi barang dan/atau jasa di perusahaan, dalam rangka menguasai keterampilan atau keahlian tertentu “.
Pengertian magang inilah yang tentu secara implementasi di dunia pendidikan kadang terjadi. Misalnya saja sudah rahasia umum ada peserta didik di jenjang SLTA atau Perguruan Tinggi yang saat magang melakukan aktivitas pekerjaan fisik atau kasar, dan ada juga yang terkadang dimintai oleh tempat magangnya untuk bersih–bersih seperti menyapu dan mencuci piring, melakukan fotocopy, hingga ditugaskan membelikan makanan untuk pimpinan atau pegawai lain di tempatnya magang. Ketidakjelasan ruang lingkup program pemagangan untuk tujuan akademis atau pendidikan, dan pemagangan yang bertujuan untuk pemenuhan kurikulum secara hukum ini kemudian menjadi celah bagi perusahaan atau agensi dan pihak tempat magang peserta didik untuk memberikan tugas magang layaknya dengan bekerja.
Selain itu juga, akibat samarnya program pemagangan untuk tujuan akademis atau pendidikan, dan pemagangan yang bertujuan untuk pemenuhan kurikulum, membuat pihak sekolah dan perguruan tinggi juga kebingungan dan tidak tahu mana konteks magang dan bekerja. Sebab praktek di lapangannya selama ini, banyak peserta didik yang menjalankan aktivitas magang layaknya seperti bekerja.
Untuk itulah penting hadirnya regulasi hukum dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi untuk mempertegas ruang lingkup dan teknis pelaksanaan program pemagangan untuk tujuan akademis atau pendidikan, dan pemagangan yang bertujuan untuk pemenuhan kurikulum yang disesuaikan dengan regulasi hukum yang sudah ada, seperti Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Hadirnya kepastian hukum dalam bentuk produk regulasi program pemagangan untuk tujuan akademis atau pendidikan untuk meminimalisir institusi pendidikan yang harusnya menjadi korban malah menjadi tersangka.
Keamanan Insan Institusi Pendidikan Dalam Bingkai Kebijakan
Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pada pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa “perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”. Terkait dengan perdagangan manusia ini tidak lepas dari pentingnya keamanan manusia.
Pada tahun 1994, UNDP mengeluarkan Human Development Report tahun 1994 yang menjadi babak baru dalam perkembangan keamanan manusia di dunia. Ide-ide dalam pembuatan laporan ini berkaitan erat dengan ide-ide yang dituangkan oleh Mahbub Ul Haq, seorang Mantan Menteri Keuangan Pakistan sekaligus konsultan UNDP. Ide ini juga turut menginisiasi lahirnya konsep Human Development Index dan Human Governance Index. Mahbub Ul Haq membuat naskah pemikirannya dengan judul “New Imperatives of Human Security” (1994) yang didalamnya memberikan penjelasan teoritis dari keamanan manusia dan cara agar konsep keamanan manusia dapat dterima secara global.
Kasus perdagangan manusia atau human trafficking tentu memiliki kaitan dengan keamanan manusia dikarenakan manusia yang menjadi korban dari perdagangan manusia merasa terancam secara fisik maupun mental, apalagi ketika korban dieksploitasi dari segi fisik maupun psikis. Kasus perdagangan manusia atau human trafficking tentu memiliki kaitan dengan keamanan manusia dikarenakan manusia yang menjadi korban dari perdagangan manusia merasa terancam secara fisik maupun mental, apalagi ketika korban dieksploitasi dari segi fisik maupun psikis. Faktor yang menjadikan kasus perdagangan manusia marak dalam dunia pendidikan dengan modus magang, menurut hemat penulis yaitu: Pertama, kekosongan hukum program pemagangan untuk tujuan akademis atau pendidikan. Hal ini sebagaimana yang diuraikan penulis di atas, bahwa saat ini belum ada regulasi khusus mengenai pemagangan untuk tujuan akademis atau pendidikan.
Kedua, Kebijakan sistem pendidikan terkait magang yang membuat institusi pendidikan terjebak dalam prakteknya. Sehingga institusi pendidikan terjebak dalam labirin antara konteks magang dan bekerja. Hal inilah yang kemudian pada akhirnya membuat institusi pendidikan dianggap menjadi bagian pelaku perdagangan orang, padahal mereka sendiri juga mengalami persimpangan persepsi karena kekosongan hukum yang ada.
Ketiga, Masih kuatnya mental inlander bagi institusi pendidikan yang berkaitan dengan luar negeri, khususnya magang internasional. Dimana selama ini aktivitas magang yang berkaitan dengan luar negeri dinilai sangat prestisius. Padahal masalah lainnya, bisa saja peserta didik yang menjalankan magang di luar negeri akan mengalami shock culture. Dimana yang tadinya aktivitas hal yang biasa dilakukan bagi masyarakat di negara tempat peserta didik magang berada, namun bisa menjadi berbeda dan cenderung dirasakan mengeksploitasi bagi peserta didik yang magang di suatu negara tertentu. Hal ini yang kemudian bisa berujung terjadi kasus TPPO.
Berdasarkan hal di atas, keamanan manusia merupakan isu yang mulai menjadi perhatian dalam hubungan internasional pada akhir abad-20. Ketika konsep transnasionalisme muncul, dimana manusia ataupun individu merupakan aktor yang setara dengan aktor negara, keamanan manusia menjadi isu hangat yang penting untuk dibicarakan. Manusia menjadi pemeran sentral dalam konsep keamanan manusia.
Pada konteks dunia pendidikan, kemanan manusia disini berkaitan dengan keamanan para tenaga pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik yang menjalankan rangkaian kebijakan kurikulum pendidikan nasional. Dalam aspek Sosiologi Pendidikan, para penggiat pendidikan ini rentan menjadi sasaran kejahatan dari berbagai pihak. Banyak studi penelitian yang menjelaskan bahwa dari pendidik hingga peserta didik rentan menjadi korban kejahatan, dari kejahatan level nasional, transnasional, hingga internasional.
Banyak faktor mengapa justru para insan pendidikan yang labelingnya lebih terdidik, cerdas, dan waspada malah rentan jadi korban kejahatan. Gordon A. Crews seorang profesor dari The University of Texas dalam bukunya “Education and Crime” (2009) menjelaskan bahwa kerentanan kejahatan yang membuat para pendidik menjadi korban karena daya stres administrasi yang tinggi, manajemen kerja yang buruk, interaksi sosial yang rendah dan kesejahteraan ekonomi yang tidak sesuai dengan beban biaya hidup. Sehingga mereka mudah mengalami kebimbangan dan mudah alami penipuan atau kejahatan. Hal yang sama juga terjadi pada peserta didik yang stres atas beban belajar, pola interaksi keluarga dan pertemanan, dan ketidakstabilan emosi yang turut berpotensi menjadi korban kejahatan. Untuk mencapai keamanan para tenaga pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik, maka perlu diperkuat dengan kejelasan hukum berbagai kebijakan yang ada dalam dunia pendidikan Indonesia, dalam hal ini misalnya pada kegiatan magang dalam kebijakan nasional pemerintah yang saat ini teramanahkan pada program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Sesuai dengan apa yang terurai di atas, maka menurut hemat penulis perlu dilakukan beberapa upaya untuk menciptakan keamanan pada insan pendidikan Indonesia dan khususnya tidak terulang kembali kasus TPPO pada modus magang, yaitu: Pertama, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi perlu membuat regulasi hukum tentang program pemagangan untuk tujuan akademis atau pendidikan. Kedua, Pemerintah perlu meningkatkan sistem terintegrasi yang dapat memantau aktivitas magang yang dilakukan oleh institusi pendidikan.
Ketiga, Pemerintah perlu melakukan sosialisasi intensif ke semua institusi pendidikan dan termasuk dunia usaha dan dunia industri mengenai program magang dan batasannya dengan bekerja dan TPPO. Keempat, Pemerintah perlu memberikan pendampingan hukum kepada pihak institusi pendidikan yang terindikasi melakukan TPPO karena unsur ketidaktahuan dan yang sebenarnya menjadi korban dari tindakan penipuan pihak perusahaan atau agensi yang menawarkan program magang. Kelima, Perlu adanya peningkatan prosedural dan pengawasan kegiatan magang oleh institusi pendidikan terhadap para peserta didiknya yang melakukan magang.
Kegiatan pemagangan untuk tujuan akademis atau pendidikan dalam institusi pendidikan pada hakikatnya baik dalam pembelajaran langsung di tempat kerja (experiential learning). Selama magang, peserta didik juga akan mendapatkan hard skills (keterampilan, complex problem solving, analytical skills), maupun soft skills (etika profesi/kerja, komunikasi, kerjasama). Selain itu juga bagi dunia pendidikan, kegiatan magang juga menjadi evaluasi apakah materi ajar yang diberikan sudah sesuai dengan kebutuhan dunia kerja atau tidak serta sebagai sarana untuk penyerapan alumni untuk siap bekerja.
Namun memang saat ini menjadi problematik ketika batas pemagangan untuk tujuan akademis atau pendidikan bersinggungan dengan pemagangan dalam arti kerja yang berpotensi terjadinya kasus TPPO. Hal ini akan membawa presenden buruk berupa kekuatiran pihak institusi pendidikan untuk menjalankan program magang dan juga pihak yang menjadi tujuan magang peserta didik.
Untuk itulah pihak aparat kepolisian harus berhati–hati dalam penanganan kasus TPPO pada institusi pendidikan. Sebab bisa jadi insan institusi pendidikan adalah korban dan bukan pelaku. Ini juga senada dengan apa yang disampaikan Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko bahwa perlunya pihak kepolisian lebih cermat dalam melakukan penyelidikan karena persoalan ini sudah menyangkut institusi pendidikan tinggi di Indonesia dan dirinya mewanti-wanti jangan sampai persoalan magang mahasiswa Indonesia di luar negeri menjadi komoditas politik dan memunculkan kegaduhan di ruang publik.
Semoga persoalan Ferienjob yang dimotori oleh PT. SHB dan CV-Gen yang membuat 33 perguruan tinggi di Indonesia menjadi korban dari kasus TPPO, dapat menjadi momentum bagi pemerintah untuk membenahi tata kelola penyelanggaraan magang bagi peserta didik Indonesia. Kita berharap semua institusi pendidikan di Indonesia dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas dan berkarakter dalam rangka Indonesia Emas 2045. Untuk itu semoga persoalan ini tidak terulang kembali dalam dunia pendidikan Indonesia.
***
*) Oleh : Syaifudin, Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Jakarta
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Peran Negara dan Biasnya Pemagangan dalam Dunia Pendidikan Indonesia
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |