https://jakarta.times.co.id/
Opini

Nir Etika Pejabat Publik

Sabtu, 15 Maret 2025 - 21:34
Nir Etika Pejabat Publik Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Penyuluh Anti korupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.” Pernyatan tersebut berasal dari H.O.S Tjokroaminoto, sosok visioner yang dijuluki sebagai Bapak pergerakan Nasional Indonesia.

Melalui kepemimpinannya di Sarekat Islam, berhasil menginspirasi lahirnya para pemimpin besar bangsa. Kalimat tersebut begitu menggugah semangat kebangsaan, bukan?

Kita bersyukur bangsa Indonesia didirikan dan diperjuangkan oleh para pendahulu bangsa Indonesia yang memiliki kompetensi luar biasa. Bahkan, bisa dibilang pendiri bangsa Indonesia adalah mereka yang benar-benar kompetensi berorasi, menyampaikan gagasan kemerdekaan, berdiplomasi mewujudkan cita-cita bangsa.

Mulai dari Ir. Soekarno, Mohammad Hatta, H.O.S Tjokroaminoto, Bung Tomo, H.R. Rasuna Said, dan masih banyak lagi yang sangat inspiratif atas jasanya dalam Republik Indonesia. Lantas, setelah 79 tahun Indonesia merdeka, apakah orang-orang seperti para pendiri bangsa kita masih ada? atau nyaris punah?

Pada Rabu, 5 Maret 2025 saat Rapat Komisi X DPR RI bersama Kemenpora hingga Ketua Umum PSSI membahas naturalisasi pemain Timnas Indonesia, salah satu anggota DPR RI bernama Ahmad Dhani menyampaikan usulan demikian, “Kala bisa dicari yang mungkin dari yang rasnya mirip-mirip dengan kita, entah itu dari Korea atau dari Afrika yang mirip-mirip kita gitu”.

Lebih kontroversinya lagi dari yang disampaikan adalah, “Naturalisasi tidak harus itu pemain, bisa juga yang sudah diatur usia 40 tahun, itu bisa juga kita naturalisasi pemain bola yang hebat. Kita jodohkan dengan perempuan Indonesia. Nah, anaknya itu yang kita harapkan menjadi pemain bola yang bagus. Ini jadi pemikirannya agak out of the box, tapi bisa dianggarkan untuk 2026 programnya.”

Bayangkan, statement-statement tersebut datang dari seorang Anggota DPR yang duduk di lembaga yang bernama Dewan Perwakilan Rakyat, lembaga yang orang-orangnya dipilih melalui Pemilihan Legislatif. Menyedihkan, bukan?

Bahkan, tidak ada sisi pengetahuan hingga teknokratik dari yang diucapkan sama sekali. Padahal, sejak berangkat dari rumah hingga sampai di DPR, negara memberikan fasilitas yang begitu fantastis terhadap seluruh anggota DPR.

Bukan kali pertama kali terlihat kegagalan komunikasi pejabat publik di negara kita. Baru-baru ini, juga terjadi ramai dibahas di media sosial, seorang Bupati yang membalas komentar seorang warga dengan ucapan yang tidak pantas dan tidak selayaknya sebagai seorang pejabat publik, sebagai penyelenggara negara yang seluruh fasilitasnya berasal dari uang rakyat.

Lantas, menjadi pertanyaan kontemplatif bagi masyarakat kita, apakah masih ingin mencari pemimpin sekadar popularitas atau mau yang benar-benar punya kompetensi dan kualitas? mau yang bisa ‘ngomong strategis dan penting’ atau yang sekadar ngomong?

Menurut penulis, salah satu hal penting yang mengakibatkan gagalnya komunikasi pejabat adalah tidak bisa membedakan mana saatnya menjadi seorang individu (privat), mana saatnya menjadi seorang pejabat publik.

Ketika dua-duanya dilakukan oleh satu orang secara bersamaan, maka ada kemungkinan melanggar etika komunikasi sebagai pejabat publik, hingga kemungkinan konflik kepentingan.

Dalam buku yang berjudul, “Public Relations: Strategies and Tactics" yang ditulis oleh Dennis L. Wilcox dan Glen T. Cameron, mereka menyatakan bahwa gaya komunikasi yang buruk dari pejabat publik dapat mengindikasikan kebijakan yang tidak dipikirkan dengan baik atau tidak memiliki dukungan publik yang memadai.

Mereka juga menekankan bahwa komunikasi yang efektif adalah kunci untuk membangun kepercayaan dan dukungan terhadap kebijakan. Artinya, kalau kaitkan dengan kondisi ugal-ugalan pengambilan keputusan dan kebijakan di Indonesia, juga ditandai dari gaya komunikasi pejabat publik yang tidak efektif.

Jangan sampai komunikasi pejabat publik justru menyayat hati rakyat. Tidak sedikit masyarakat yang menggantungkan hidup dengan kebijakan pemerintah dan kebijakan itu keluar dari mulut para pejabat publik. Bayangkan, jika banyak masyarakat menjadi korban dari kegagalan komunikasi pejabat negara.

Etika komunikasi pejabat publik haruslah memperhatikan kejujuran, penghormatan, tanggung jawab, dan konsistensi dalam menyampaikan pesan.

Gaya komunikasi pejabat publik tidak hanya penting untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk membangun kepercayaan, mempengaruhi opini publik, dan memperkuat citra negara.  (*)

***

*) Oleh : Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia, Penyuluh Anti korupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.