TIMES JAKARTA, JAKARTA – Korupsi telah lama menjadi salah satu masalah terbesar yang dihadapi oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Meskipun sudah banyak upaya dilakukan, mulai dari pembentukan lembaga antikorupsi hingga penegakan hukum yang tegas, kenyataannya korupsi masih merajalela.
Seringkali, kita mendengar seruan "Korupsi harus diberantas!" atau "Saatnya kita tangkap para koruptor!" Namun, apakah seruan-seruan tersebut benar-benar cukup untuk menghentikan fenomena ini?
Masalah mendasar yang harus kita pahami adalah bahwa korupsi bukan hanya soal tindakan ilegal yang dilakukan oleh segelintir individu, tetapi juga soal budaya yang sudah mengakar dalam sistem sosial dan politik kita.
Korupsi tidak hanya terjadi di gedung-gedung pemerintahan, tetapi juga bisa terlihat dalam praktik sehari-hari, seperti suap kecil yang diterima oleh petugas di lapangan atau penundaan layanan publik yang seharusnya sudah diberikan dengan cepat.
Melihat kenyataan ini, kita tidak bisa hanya mengandalkan penegakan hukum semata. Jika kita ingin benar-benar menyampaikan bahwa korupsi telah selesai, maka kita perlu membangun kesadaran kolektif di kalangan masyarakat untuk tidak mentolerir korupsi dalam bentuk apapun.
Pendidikan moral dan etika harus menjadi bagian dari kurikulum di setiap jenjang pendidikan, dan budaya transparansi serta akuntabilitas harus ditekankan di setiap sektor.
Salah satu langkah yang sangat penting adalah memperkuat peran masyarakat sipil. Rakyat harus diberi akses lebih besar untuk memantau penggunaan anggaran negara dan pelayanan publik. Jika masyarakat aktif terlibat dalam pengawasan, maka potensi terjadinya korupsi bisa ditekan dengan signifikan.
Selain itu, penting juga untuk membangun sistem yang lebih transparan dan efisien dalam pemerintahan. Misalnya, pengelolaan anggaran yang terbuka, penggunaan teknologi dalam proses tender atau pengadaan barang dan jasa, serta penerapan sistem e-government yang memudahkan masyarakat untuk mendapatkan informasi.
Perjuangan melawan korupsi tidak akan selesai hanya dengan menangkap dan menghukum pelaku. Lebih dari itu, yang perlu kita capai adalah perubahan budaya dan sistem yang mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan ruang bagi praktik korupsi. Untuk itu, kita semua harus berperan aktif, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.
Mari bersama-sama sampaikan, "Korupsi Selesai!" bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan tindakan nyata, kesadaran kolektif, dan sistem yang lebih bersih, transparan, serta akuntabel.
Jika itu bisa tercapai, kita akan menuju masyarakat yang lebih adil dan sejahtera. Semoga opini ini bermanfaat dan bisa menginspirasi untuk diskusi lebih lanjut mengenai upaya pemberantasan korupsi.
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, Akademisi dan Wirausahawan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
_____
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |