TIMES JAKARTA, JAKARTA – Islam di Indonesia tumbuh bukan sebagai kekuatan hegemonik yang memaksakan tatanan, tetapi sebagai spirit yang menyatu dengan kebudayaan lokal. Model Islam Nusantara telah lama menjadi corak keislaman yang damai, adaptif, dan membumi.
Islam yang datang melalui para wali, ulama pesantren, dan saudagar Muslim mengintegrasikan nilai-nilai agama dengan kearifan lokal tanpa kehilangan substansi tauhid dan akhlak. Inilah kekuatan Islam Nusantara: inklusif dalam dakwah, progresif dalam pemikiran.
Dalam realitas sosial Indonesia, Islam tidak semata-mata menjadi doktrin, melainkan menjadi sistem nilai dalam tatanan kehidupan, termasuk dalam praktik ekonomi. Maka bicara tentang ekonomi Islam Nusantara, sejatinya kita bicara tentang bagaimana nilai-nilai keadaban Islam diterjemahkan dalam konteks lokalitas, keadilan sosial, dan keberpihakan pada masyarakat kecil.
Krisis Keadilan Ekonomi
Indonesia hari ini menghadapi tantangan akut dalam distribusi kekayaan. Ketimpangan ekonomi, baik antara desa dan kota, maupun antara elite dan rakyat kecil masih menjadi luka terbuka dalam wajah pembangunan.
Banyak program ekonomi yang secara teoritis baik, namun gagal menjangkau basis akar rumput. Di sinilah kita perlu merumuskan ulang arah ekonomi keumatan, dengan fondasi etika Islam dan semangat kolektif Nusantara.
Keadaban ekonomi Islam menolak eksploitasi dan monopoli. Dalam Islam, tidak ada ruang bagi penumpukan kekayaan yang stagnan. Zakat, infak, wakaf, dan sistem muamalah lain hadir untuk mendorong sirkulasi kekayaan, memperkecil jarak sosial, dan mendorong kolaborasi, bukan kompetisi membabi buta. Islam menginginkan umat yang sejahtera secara spiritual sekaligus mandiri secara ekonomi.
Pesantren, Masjid, dan Ekonomi Umat
Pesantren dan masjid sejatinya bukan hanya tempat ibadah atau belajar agama semata, tetapi juga pusat ekonomi berbasis komunitas. Potensi wakaf produktif, koperasi pesantren, dan bisnis berbasis jamaah merupakan peluang besar untuk membangun sistem ekonomi alternatif yang membumi dan berkelanjutan.
Namun, tantangan besar ada pada manajemen, tata kelola, dan distribusi. Dibutuhkan kader-kader muda yang tidak hanya paham agama, tetapi juga memiliki kompetensi ekonomi, akuntansi, dan manajemen. Inilah misi besar lembaga-lembaga seperti LPEK PB PMII: mengintegrasikan nilai-nilai keislaman dengan profesionalitas ekonomi.
Kita harus berani melahirkan santri akuntan, ulama ekonom, dan aktivis sosial yang melek finansial. Islam Nusantara tidak boleh berhenti sebagai narasi budaya ia harus tumbuh sebagai sistem yang mampu menjawab tantangan zaman.
Menuju Etika Ekonomi Islam Nusantara
Islam Nusantara menawarkan kerangka etika ekonomi yang khas: gotong royong, keberkahan, keadilan, dan akuntabilitas. Ini sejalan dengan prinsip maqashid syariah menjaga harta, jiwa, akal, agama, dan keturunan. Model ekonomi berbasis komunitas, koperasi syariah, dan BMT dapat diperkuat sebagai instrumen utama ekonomi rakyat.
Untuk itu, negara dan organisasi keislaman perlu berkolaborasi lebih konkret. Pemerintah harus membuka ruang insentif fiskal untuk kegiatan ekonomi pesantren. Ormas Islam perlu menjadi pusat edukasi ekonomi umat. Kampus Islam harus menjadi laboratorium pemikiran dan riset ekonomi alternatif. Dan tentu, pemuda Islam harus hadir sebagai agen perubahan.
Di sinilah Islam Nusantara menemukan relevansinya kembali: bukan sekadar identitas kultural, melainkan sebagai kerangka kerja etis dan praksis dalam membangun ekonomi yang berkeadaban. Sebuah ekonomi yang adil, spiritual, dan membebaskan.
***
*) Oleh : Muhammad Aras Prabowo, Direktur Lembaga Profesi Ekonomi dan Keuangan PB PMII 2021–2024.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Islam Nusantara dan Keadaban Ekonomi
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |