https://jakarta.times.co.id/
Opini

Ironi Surplus Pangan di Indonesia

Sabtu, 06 September 2025 - 08:50
Ironi Surplus Pangan di Indonesia Hari Bahagiat, Pegiat di Nusa Artivisme.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pada pertengahan semester pertama 2025 lalu, saya turut terlibat dalam sebuah tim penelitian tentang lumbung pangan desa. Lokus riset mengambil sampling beberapa desa di Lombok Timur. 

Topiknya memang cukup terdengar gagah, seolah-olah kami sedang merancang suatu strategi untuk menyelamatkan peradaban dari krisis pangan global.

Tapi, alih-alih merasa heroik, saya justru sering menahan tawa getir. Soalnya, di negeri yang katanya lumbung padi ini, ironi lebih berlimpah daripada gabah di sawah.

Di berbagai forum, para pejabat tampil penuh percaya diri. Mereka memamerkan data panen raya yang katanya melimpah ruah. Angka surplus diucapkan dengan nada kemenangan, seakan kita baru saja menaklukkan kolonialisme jilid dua.

Stok beras dikabarkan aman terkendali, bahkan melampaui target. Semua gabah petani diserap Bulog dengan harga pokok pembelian Rp6.500 per kilogram.

Kedengarannya indah. Tapi mari kita telisik sedikit. Harga itu berlaku sama rata untuk semua gabah, entah yang baru setengah kering, entah yang masih bercampur tanah, entah yang kualitasnya bagus.

Semua dihargai setara, seperti prinsip kesetaraan dalam demokrasi. Bedanya, di sini kesetaraan justru membuat petani sama-sama mengeluh.

Sebab setelah gabah berpindah tangan, para petani mendadak ingat daftar pengeluaran biaya pupuk, sewa traktor, obat hama, upah buruh, dan tentu saja cicilan motor anak sulung yang dipakai kuliah di kota. Rp6.500 itu jadi terasa pas-pasan.

Akhirnya mereka hanya bisa tersenyum sebentar di depan petugas Bulog, lalu kembali ke rumah dengan wajah yang sama legam oleh debu sawah plus pikiran yang makin kusut.

Yang bikin lebih kocak sekaligus menyedihkan, di televisi kita disuguhi wajah pejabat yang tersenyum lebar. Mereka menunjukkan grafik berwarna biru dan merah, garis naik turun yang entah kenapa mirip detak jantung pasien ICU. Bedanya, kalau pasien bisa gagal jantung, rakyat bisa gagal makan.

Hukum Ekonomi Pasar

O ya, jangan lupa jargon! Di negeri ini, jargon adalah menu sehari-hari. Kita akrab dengan istilah “ketahanan pangan”, “kemandirian pangan”, “kedaulatan pangan”. Semuanya terdengar nyaring, heroik, bahkan nasionalis. Cocok untuk pidato, cocok untuk baliho.

Tapi kalau masuk dapur rakyat, ya yang ada tetap mie instan yang direbus dengan air pas-pasan. Rakyat pun belajar bahwa kedaulatan bukan soal kenyang, melainkan soal retorika.

Di desa, lumbung pangan memang masih ada. Bentuknya bagus, kadang hasil program pemerintah, dicat warna mencolok. Tapi jangan bayangkan penuh padi. Isinya sering cuma karung kosong yang menunggu diisi.

Ironisnya, yang justru penuh adalah baliho bertuliskan “Ketahanan Pangan Menuju Indonesia Emas 2045”. Seolah-olah karung kosong bisa berubah jadi beras hanya dengan melihat baliho.

Pertanyaan klasik pun muncul: kalau stok surplus, kenapa harga di pasar tetap bikin ibu-ibu sesak napas saat belanja di kios sembako? Bukankah logika ekonomi dasar bilang kalau barang melimpah, harga mestinya turun? Jangan-jangan hukum pasar sedang cuti bersama, atau sudah pindah domisili ke negara tetangga.

Saya jadi teringat dengan obrolan dua orang ibu rumah tangga di warung sembako. Katanya, harga beras makin bikin pening. “Katanya surplus, tapi kok kantong saya defisit?” ujarnya sambil tertawa getir. Dalam hatinya, tentu dia tidak sedang bercanda.

Lebih jauh lagi, ironi ini sebenarnya mengajarkan sesuatu. Negeri kita jago sekali menghitung angka, membuat laporan, dan merancang grafik.

Tapi begitu menyangkut rasa kenyang, kita sering kalah oleh seporsi nasi bungkus sederhana. Surplus angka tidak otomatis berarti surplus kenyang.

Lucunya, fenomena ini bukan sekali dua kali terjadi. Hampir setiap tahun kita mendengar kabar panen raya dan surplus, tapi hampir setiap tahun juga harga beras naik.

Rasanya seperti menonton sinetron dengan alur berulang, plot twist-nya bisa ditebak, tapi kita tetap menonton karena tidak ada tontonan lain.

Barangkali masalahnya memang bukan pada sawah atau petani, melainkan pada sistem distribusi dan tata kelola.

Gabah petani mengalir ke gudang, tapi beras di pasar tetap jadi barang mewah. Entah di mana titik bocornya, yang jelas rakyat cuma kebagian dampaknya.

Pada akhirnya, saya jadi berpikir, mungkin kita ini memang negara yang lebih ahli mencetak jargon ketimbang mencetak kenyang.

Kita punya surplus istilah, defisit solusi. Kita punya surplus data, defisit logika. Kita punya surplus baliho, defisit beras murah.

Jadi, kalau suatu hari Anda mendengar pejabat berkata bahwa stok beras aman terkendali, jangan buru-buru percaya. Cobalah tes kecil dengan buka dompet, pergi ke pasar, tanyakan harga beras.

Nah, kalau Anda pulang dengan wajah pucat dan hanya mampu membeli mie instan, berarti Anda sudah lulus ujian realitas.

Surplus angka tak akan pernah mengenyangkan perut. Yang membuat kenyang adalah nasi di piring, bukan grafik di layar proyektor.

Selama hukum pasar masih hobi cuti, rakyat tetap akan belajar satu hal: ironi bisa jadi lauk sehari-hari, meski tidak bikin kenyang. 

 

***

*) Oleh : Hari Bahagiat, Pegiat di Nusa Artivisme.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.