TIMES JAKARTA, JAKARTA – Setahun adalah waktu yang cukup bagi sebuah kebijakan publik untuk diperiksa, ditimbang, dan diuji ketulusannya. Terlebih kebijakan yang menyentuh langsung perut dan masa depan generasi bangsa. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) lahir dengan janji manis: memperbaiki kualitas gizi anak, menekan angka stunting, dan menghadirkan negara di meja makan rakyat kecil.
Namun, setelah hampir satu tahun bergulir, program ini justru menyisakan kegelisahan. Alih-alih menjadi jembatan menuju perbaikan gizi yang berkelanjutan, MBG kerap tampak seperti bangunan megah yang fondasinya rapuh.
Stunting masih berdiri sebagai bayang-bayang panjang di banyak daerah. Anak-anak tetap tumbuh dalam ketimpangan gizi, sementara program yang digadang sebagai solusi justru dipenuhi problem implementasi.
Di lapangan, MBG tidak hadir sebagai sistem yang kokoh, melainkan sebagai distribusi massal yang sering kali abai pada mutu, keamanan, dan konteks sosial masyarakat. Pertanyaannya menjadi semakin mendasar: apakah MBG benar-benar dirancang untuk menyelesaikan masalah, atau sekadar untuk menunjukkan bahwa negara “sedang bekerja”?
Realitas menunjukkan bahwa MBG belum menyentuh akar persoalan gizi. Stunting bukan sekadar urusan perut kosong, melainkan hasil dari kemiskinan struktural, akses pangan yang timpang, pendidikan keluarga yang terbatas, serta ketidakstabilan ekonomi rumah tangga. Ketika negara memilih jalan pintas dengan pembagian makanan siap saji, persoalan mendasar itu tetap tertinggal di hulu. Yang tercipta hanyalah kesibukan di hilir ramai, masif, tetapi dangkal.
Lebih mengkhawatirkan, pelaksanaan MBG justru diwarnai ironi. Kasus keracunan makanan di sejumlah daerah menjadi alarm keras tentang lemahnya pengawasan. Temuan penggunaan wadah makanan yang mengandung unsur tidak halal bukan sekadar persoalan teknis, tetapi pukulan terhadap kepercayaan publik. Di negeri dengan mayoritas penduduk Muslim, kelalaian semacam ini bukan kesalahan kecil. Ia mencerminkan betapa negara lalai membaca sensitivitas rakyatnya sendiri.
Dapur-dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang seharusnya menjadi jantung program pun banyak dilaporkan belum memenuhi standar kelayakan. Persoalan kebersihan, tata kelola bahan pangan, hingga distribusi menunjukkan bahwa negara hadir setengah hati. Seakan-akan yang lebih penting adalah program berjalan, bukan kualitas pelayanan yang diterima rakyat. Negara tampak sibuk menghitung porsi, tetapi lupa memastikan mutu.
Ironi semakin kentara ketika melihat besarnya anggaran yang digelontorkan. MBG menyedot dana negara dalam jumlah besar, bahkan tetap berjalan di tengah libur sekolah sebuah keputusan yang memancing tanda tanya tentang urgensi dan efektivitas.
Ketika anggaran besar dihabiskan untuk program yang dampaknya belum terukur secara jelas, publik berhak bertanya: apakah keberhasilan kebijakan diukur dari serapan anggaran, atau dari perubahan nyata dalam kehidupan rakyat?
Di sinilah MBG memperlihatkan wajah kebijakan populis. Program ini tampak sibuk memoles citra kepedulian, tetapi abai pada pembenahan sistem. Dalam logika populisme, yang utama adalah terlihat hadir, bukan sungguh-sungguh menyelesaikan.
Makanan dibagikan, foto-foto diabadikan, laporan disusun, sementara akar kemiskinan dan ketimpangan gizi tetap tak tersentuh. Rakyat kenyang sesaat, tetapi masalah tetap lapar akan solusi.
Kecurigaan publik pun tak terelakkan ketika program ini terus dipaksakan meski kritik mengalir deras. Dalam sistem kapitalisme, kebijakan publik sering kali menjadi titik temu kepentingan kekuasaan dan bisnis.
Pengelolaan dapur, pengadaan bahan pangan, hingga distribusi membuka ruang relasi kuasa yang rawan diselewengkan. Ketika anggaran besar berputar tanpa transparansi yang memadai, amanah keuangan negara berada di ujung tanduk.
Padahal, dalam perspektif Islam, negara bukan sekadar administrator program, melainkan ra‘in pengurus urusan rakyat. Pemenuhan gizi bukan proyek pencitraan, melainkan kewajiban moral dan struktural.
Negara dituntut membangun sistem yang memastikan rakyat mampu memenuhi kebutuhan dasarnya secara mandiri dan bermartabat. Pendidikan harus menumbuhkan kesadaran kesehatan keluarga, ekonomi harus membuka lapangan kerja yang layak, dan pangan harus dikelola secara halal, aman, serta terjangkau.
Islam memandang kesejahteraan sebagai bangunan utuh. Memberi makan tanpa memperbaiki sistem ibarat menimba air dengan keranjang bocor. Selama kemiskinan struktural dibiarkan, program sebesar apa pun hanya akan menjadi tambalan sementara. Negara seharusnya hadir bukan hanya sebagai pembagi, tetapi sebagai penjamin keadilan distribusi dan keberlanjutan kehidupan rakyat.
Menimbang ulang Program Makan Bergizi Gratis bukanlah sikap anti-kepedulian. Justru sebaliknya, ia adalah bentuk tanggung jawab moral agar kebijakan publik tidak berhenti sebagai simbol, tetapi menjelma solusi yang bermakna. Selama kebijakan lahir dari paradigma proyek dan populisme, persoalan gizi rakyat akan terus berulang dalam lingkaran yang sama.
Kesadaran perlu dikembalikan pada satu prinsip mendasar: kekuasaan adalah amanah, dan rakyat adalah tujuan. Tanpa itu, program sebesar apa pun hanya akan menjadi gema kosong nyaring di awal, redup di akhir, dan meninggalkan masalah yang tetap setia menunggu di meja kehidupan rakyat. (*)
***
*) Oleh : Tia Damayanti, M.Pd., Pendidik dan Penulis Opini.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi
berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |