https://jakarta.times.co.id/
Opini

Pasar Kita Cermin Martabat Bangsa

Senin, 17 November 2025 - 18:43
Pasar Kita Cermin Martabat Bangsa Kuntoro Boga Andri, Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Mengenang 25 tahun yang lalu, saat saya mendapat pelajaran berharga dari seorang profesor di Saga University, Jepang. Beliau bercerita tentang betapa gigihnya Jepang menerapkan nasionalisme dagang demi melindungi petani dan industri lokal mereka. 

Pada akhir tahun 1980-an, Jepang menolak impor jeruk California demi melindungi jeruk lokal. Petani Jepang bahkan melakukan protes ekstrem, dengan membakar dan menghanguskan peti-peti jeruk California, sebagai simbol penolakan terhadap desakan agar Jepang membuka pasarnya. 

Dengan mengenakan ikat kepala bertuliskan “Lindungi Pertanian Jepang”, ratusan petani meneriakkan penolakan atas tuntutan Amerika seraya menumpahkan jeruk impor di atas mobil buatan AS.  

Di sisi lain, pemerintah Amerika Serikat saat itu berupaya membatasi masuknya mobil Jepang karena gempuran mobil-mobil buatan Jepang dianggap mengancam industri otomotif AS. Akibat sikap sama-sama ngotot mempertahankan kepentingan nasional, sempat terjadi deadlock perdagangan: jeruk vs mobil.

Kisah itu berakhir dengan kompromi diplomasi dagang. Setelah melalui beberapa ronde negosiasi yang alot, kedua negara mencapai kesepakatan. Jepang bersedia melonggarkan pembatasan impor jeruk secara bertahap, menerima jeruk California dalam kuota tertentu, demi menjaga hubungan dagang. 

Sebagai imbal balik tak tertulis, tekanan terhadap ekspor mobil Jepang ke Amerika pun mereda. Pelajaran pentingnya, setiap negara berhak dan wajar melindungi produk domestiknya demi kepentingan nasional, namun di saat yang sama harus siap bernegosiasi agar tercapai keseimbangan saling menguntungkan. 

Gelombang Baru Nasionalisme Dagang 

Memasuki abad ke-21, tren nasionalisme ekonomi justru menguat di banyak negara maju. Amerika Serikat, yang selama ini dikenal sebagai kampiun perdagangan bebas, tak segan menerapkan kebijakan proteksionis ketika menganggap kepentingan domestiknya terancam. 

Pada 2018, di bawah slogan “America First”, Presiden Donald Trump memberlakukan tarif 25% untuk impor baja dan 10% untuk aluminium dengan dalih keamanan nasional, langkah yang terang-terangan ditujukan untuk melindungi produsen logam dalam negeri, mendorong produksi domestik, dan membuka lapangan kerja bagi warga AS. 

Kebijakan tarif era Trump tersebut bernuansa nasionalisme dagang, menempatkan industri dan pekerja nasional di atas segala-galanya. Bahkan sekutu dekat pun tak luput dari tarif, hal ini menunjukkan, ketika menyangkut kepentingan industri strategis, AS berani mengorbankan prinsip perdagangan bebas demi melindungi dirinya.

Demikian pula Uni Eropa yang terkenal mengusung perdagangan bebas tetap melindungi sektor pertaniannya dengan subsidi besar-besaran dan standar ketat. Contohnya, regulasi Uni Eropa terhadap minyak sawit kerap dianggap sebagai hambatan terselubung untuk melindungi produsen minyak nabati mereka sendiri. Hal-hal ini mengindikasikan bahwa nasionalisme dagang adalah praktik umum di banyak negara, bukan monopoli negara berkembang saja.

Hilirisasi dan Kepentingan Nasional 

Indonesia dikaruniai sumber daya alam yang sangat melimpah, mulai dari hasil tambang dan pertanian seperti padi, kelapa sawit, karet, kakao, kopi, hingga hasil tambang dan mineral seperti nikel, bauksit, dan tembaga. 

Ironisnya, selama puluhan tahun kita lebih banyak berperan sebagai pengekspor bahan mentah. Kita ekspor crude palm oil (CPO), lalu impor minyak goreng kemasan, kita ekspor karet mentah, lalu beli ban mahal dari luar, kita kirim bijih mineral, lalu impor kembali produk elektronik dan baterai. Pola ini jelas tidak menguntungkan dalam jangka panjang. 

Jika Indonesia ingin meningkatkan nilai tambah di dalam negeri sekaligus memperkuat ekonomi nasional, maka model ekspor mentah harus diubah. Di sinilah nasionalisme dagang menemukan bentuk nyatanya dalam kebijakan hilirisasi,  mendorong pengolahan sumber daya di dalam negeri sebelum diekspor.

Kebijakan hilirisasi sebenarnya adalah langkah yang wajar dan telah diterapkan banyak negara demi memperoleh value added maksimal. Strategi ini kini gencar diterapkan di sektor perkebunan. Kita tidak boleh lagi puas hanya menjadi eksportir CPO atau bahan mentah lainnya. Pemerintah terus mendorong pengembangan industri pengolahan sawit menjadi berbagai produk turunan bernilai tinggi, mulai dari biodiesel, bioavtur, oleokimia, hingga biomassa energi. 

Analisis menunjukkan bahwa produk turunan sawit memiliki nilai tambah 15–20% lebih tinggi dibandingkan menjual CPO mentah di pasar global. Bahkan studi lain memproyeksikan bahwa hilirisasi sawit yang menyeluruh dapat menambah 2–3% terhadap PDB nasional serta menciptakan jutaan lapangan kerja baru. 

Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, agenda nasionalisme ekonomi melalui hilirisasi dan industrialisasi semakin diteguhkan. Dalam visi Asta Cita, Presiden Prabowo secara tegas mencantumkan keberlanjutan program hilirisasi agar nilai tambah sumber daya kita bisa dinikmati oleh rakyat di dalam negeri. 

Pemerintah menyadari bahwa tanpa pengolahan di dalam negeri, kekayaan alam kita tidak akan banyak memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat. Produk sumber daya alam harus melalui proses nilai tambah sebelum diekspor, agar “kue ekonomi” berupa lapangan kerja, pendapatan, dan kemakmuran tidak bocor ke luar negeri. 

Pemerintah juga menetapkan tiga pilar utama pembangunan ekonomi, yaitu hilirisasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan swasembada pangan-energi. Hilirisasi dijalankan secara konkret, termasuk melalui program hilirisasi di beberapa Kementerian dan dengan membentuk BPI Danantara sebagai motor penggerak industrialisasi nasional. 

Di sisi lain, swasembada energi didorong melalui pengembangan biofuel dari sawit dan komoditas pertanian lainnya. Langkah yang tidak hanya mengurangi ketergantungan impor BBM, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan petani. 

Menuju Kemandirian Ekonomi Bangsa

Belajar dari pengalaman Jepang, Amerika, dan berbagai negara lain, Indonesia tidak perlu malu atau ragu mengedepankan nasionalisme dalam perdagangan internasional. Justru sudah saatnya kita berdiri tegak membela kepentingan sendiri. 

Keterhubungan ekonomi global tentu tetap penting, kita tidak sedang menutup diri dari dunia. Namun, paradigma kita harus bergeser, dari bangsa pengekspor bahan mentah murah menjadi produsen barang bernilai tinggi, dari pasar bagi produk asing menjadi basis produksi yang kuat untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan dunia. 

Nasionalisme dagang berarti menempatkan kepentingan nasional sebagai prioritas utama dalam setiap perjanjian dagang, kebijakan ekspor-impor, hingga arah pembangunan industri.

Tantangannya jelas tidak ringan. Tekanan dari negara mitra dan lembaga internasional akan terus datang. Uni Eropa, misalnya, memberlakukan kebijakan diskriminatif terhadap produk kelapa sawit Indonesia melalui regulasi yang membatasi akses pasar atas dasar isu lingkungan. 

Banyak analis menilai langkah tersebut merupakan bentuk perlindungan terhadap komoditas minyak nabati Eropa seperti minyak bunga matahari atau rapeseed. Namun tekanan seperti ini tidak boleh melemahkan tekad kita. Selama langkah kita tidak secara prinsipil melanggar aturan internasional, perjuangan melindungi kepentingan nasional adalah sah dan layak dibela. 

Dengan nasionalisme dagang yang cerdas dan terukur, kita justru bisa lebih percaya diri hadir di pasar global. Bila industri domestik kokoh, daya tawar Indonesia pun menguat. Kita tidak lagi sekadar mengekor fluktuasi harga komoditas dunia, tetapi turut menentukan arah pasar melalui produk-produk hilir kita sendiri. Inilah jalan menuju kemandirian ekonomi sejati.

***

*) Oleh : Kuntoro Boga Andri, Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.