https://jakarta.times.co.id/
Opini

Islam, Karl Marx dan Mazhab Serakahnomic di Indonesia

Senin, 17 November 2025 - 18:26
Islam, Karl Marx dan Mazhab Serakahnomic di Indonesia Abdul Mukti Ro’uf, Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Akademisi muda Indonesia, Bagus Putra Muljadi menyayangkan pandangan yang mengatakan bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup. Jika terjemahan kebahagiaan itu adalah popularitas, kesuksesan dalam dunia kerja, melimpahnya uang dan harta benda, singkatnya sukses materi, maka seseorang akan mudah terjatuh pada hal-hal trival seperti uang.

Sebaliknya, hidup yang mengejar makna, tujuan, dan kontribusi jauh lebih penting daripada sekadar mengejar kebahagiaan semu yang berpusat pada materi. Tesis ini dihipotesakan benar secara filosofis dan jangka panjang. Tetapi sedikit bertabrakan dengan realitas kehidupan ekonomi masyrakat Indonesia belakngan ini.

Di tengah kondisi ekenomi yang menyulitkan banyak orang untuk mencari kerja, bagi rakyat kecil, pandangan bahwa uang dan cuan sebagai “dewa penyelemat” bagi kehidupan yang real tidak mudah untuk ditepikan. Memenuhi kebutuhan dasar seperti makan, pendidikan, dan kesehatan memerlukan kepastian kerja dan penghasilan.

Kucuran bantuan sosial dari pemerintah bagi mereka ibarat sakit kepala yang diatasi dengan minum obat generik: menghilangkan sesaat tetapi tidak menyentuh akar persoalannya.

Hal yang sama terjadi pada kelas menengah. Mereka berada di posisi yang serba sulit karena kurangnya akses jaminan sosial. Tidak cukup miskin untuk mendapat bantuan sosial, tetapi belum cukup kaya untuk merasa aman secara finansial.

Mereka harus membayar iuran BPJS Kesehatan tanpa subsidi karena bukan bagian dari penerima bantuan. Kebutuhan pokok kian naik sehingga beban hidup semakin berat.

Kontras dengan kehidupan “kelas bawah” dan “kelas menengah” dalam pengertian ekonomi, segelintir kelas “serakahnomic” menurut istilah Presiden Prabowo, telah menjadikan ekonomi nasional selama berpulu-puluh tahun menjadi lumpuh.

Kehidupan ekonomi telah dikendalikan oleh “ruh serakah” yang mengakibatkan jutaan manusia Indonesia menjadi juara bertahanan dalam mempertahankan status kemiskinannya. Faktanya, dalam banyak kasus, relasi kaum “serakahnomic” dan penguasa ada dalam hubungan saling menguntungkan.

Jual beli pasal dalam perumusan undang-undang di ranah legeslatif telah menjadi rahasia umum. Peristiwa gratifikasi untuk memuluskan aneka bisnis kelas kakap sering menajdi berita harian.

Lantas, rakyat marah. Ironisnya, amarah orang miskin kepada negara yang mudah tersulut  oleh rasa ketidakadilan seringkali hanya menjadi kontestasi narasi elit. Bagi elit ekonomi (baca: para oligarki) yang menganut mazhab serakahnomic, kemarahan itu dapat saja dikelola untuk menyerang negara karena alasan bisnisnya yang terganggu.

Karenanya, elit kekuasaan, kemarahan itu sering “dituduh” sebagai perpanjangan kepentingan elit ekonomi yang terganggu oleh kebijakan negara. Di atas terjadi “perang elit”. Di bawah, rakyat tetap mempertahankan kehidupannya yang miskin.

Kematian Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang terlindas kendaraan taktis Brimob pada 28 Agustus 2025 adalah tragedi yang secara fundamental menggambarkan salah urus negara dalm hal keadilan ekonomi.

Setidaknya, Menteri Keaungan Purbaya Yudhi Sadewa membenarkan tesis ini dengan mengatakan bahwa tragedi Agustus 2025 disebabkan oleh tekanan ekonomi yang berakar dari kesalahan kebijakan fiskal dan moneter.

Karl Marx dan Ketidakadilan Ekonomi

Di tengah sulitnya kehidupan ekonomi, nasehat Karl Marx (1818-1883) cukup relevan untuk direnungkan kembali. Konsep alienasi adalah salah satu kritik utama Marx terhadap kapitalisme. Dalam sistem ini, pekerja (proletar) merasa terasing dari produk yang mereka hasilkan, proses produksi, diri mereka sendiri, dan sesama pekerja.

Alienasi ini terjadi karena pekerja tidak memiliki kontrol atas apa yang mereka produksi atau bagaimana mereka memproduksinya, sehingga mereka merasa kehilangan identitas dan makna dalam pekerjaan mereka. Elitlah (borjuis, kapitalis) yang menikmati keringat buruh dalam sistem kapitalimse.

Lantas, makna hidup seperti apa yang harus diresapi kaum lemah/proletar/orang miskin di tengah kelezatan hidup para borjuis yang menganut serakahnomic? Jika makna hidup yang dianjurkan kepada rakyat miskin untuk segera merengkuh nilai-nilai kesabaran dalam pengertian agama yang pasif-normatif, maka persis di situlah kritik Karl Marx terhadap ajaran agama.

Marx menyebut agama (baca: doktrin Gereja), setidakny dalam tafsirannya, sebagai “opium rakyat” (opium of the people) dalam pengertian bahwa agama menawarkan penghiburan di tengah penderitaan manusia. Namun, menurut Marx, penghiburan ini bersifat ilusi, karena agama tidak mengatasi akar penyebab penderitaan tersebut, yaitu ketidakadilan ekonomi dan eksploitasi yang muncul dari sistem kapitalisme.

Ketidakadilan ekonomi oleh sistem kapitalisme, agama dianggap Marx telah mengalihkan perhatian kelas pekerja dari perjuangan kelas dan ketidakadilan struktural ke hal-hal transendental. Marx memandang agama sebagai alat oleh kelas penguasa untuk mempertahankan dominasi mereka.

Dalam konteks ekonomi politik, menganggap agama mempromosikan ketundukan dan kepasrahan terhadap penderitaan duniawi dengan menjanjikan kebahagiaan di akhirat. Hal ini menghambat kesadaran kelas (class consciousness) dan perjuangan revolusioner.

Berbeda dengan tafsir Mrax terhadap ajaran agama dan hubungannya dengan perjuangan kelas pada waktu itu,dalam doktrin ekonomi Islam, Al-Qur'an justru secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan. Persaudaraan dan keadilan menuntut agar semua sumber daya dimanfaatkan untuk mewujudkan maqashid shari'ah (tujuan beragama) seperti memenuhi kebutuhan hidup manusia dan kebutuhan dasar seperti pakaian, makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan.

Prinsip-prinsip keadilan dan persaudaraan juga mengatur distribusi sumber daya secara adil kepada semua orang melalui kebijakan yang adil dan instrumen-instrumen seperti zakat, infaq, sadaqah, pajak, kharaj, jizyah, serta pajak ekspor-impor.

Kehadiran Rasulullah SAW di Mekkah, secara historis jelas menjadi oposisi bagi dominasi kelas borjuis, elit ekonomi Quraisy terhadap kaum lemah (mustad’afin). Sehingga, semangat Marx untuk melawan dominasi dan eksploitasi kaum borjuis terhadap kaum proletar telah lama dicontohkan oleh Nabi.

Dalam islamicnomic baik secara normatif maupun historis, keberpihakan terhadap mustadafin dan penolakan terhadap dominasi ekonomi oleh kelas ekonomi tertentu, apalagi oleh mazhab “serakahnomic” telah lama menjadi “iman ekonomi” umat Islam sepanjang sejarah.

Didiga, dalam mazhab “serakahnomic” di dalamnya terkandung motivasi hidup yang bertumpu pada kebahagiaan material. Di situlah kita bersepakat bahwa tujuan hidup bukan untuk merengkuh kebahagiaan material. Tetapi bagaimana hidup dimaknai untuk memberikan kontribusi dan solusi.

Dalam konteks keadilan sosial-ekonomi, Al Qur'an menekankan kesetaraan manusia dan menghindari segala bentuk ketidakseimbangan sosial yang disebabkan oleh ketidakseimbangan ekonomi, seperti eksploitasi, keserakahan, dan konsentrasi kekayaan pada beberapa orang saja.

Keadilan di mata Allah adalah sama untuk semua manusia tanpa memandang status sosial, ras, atau agama mereka. Kesadaran akan kesetaraan ini harus menjadi kesadaran internal bagi setiap manusia untuk memiliki perspektif egaliter. Itulah wawasan tentang manusia yang memungkinkan keadilan sosial-ekonomi dapat diwujudkan.

Maka, yang diperlukan adalah gerakan ekonomi terutama oleh negara dalam megelola suprastrukur sebagai panduan untuk mewujudnyatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam konteks kepemimpinan Prabowo Subianto, kita patut menanti apakah “Prabowonomic” akan berhasil menumbangkan mazhab dan gerakan “serakahnomic” yang sudah berurat-berakar dalam kehidupan ekonomi nasional.

Dalam kaitan ini pula, kita menunggu gerakan islamicnomic yang bertumpu pada pengalaman historis dalam keberhasilan dakwah ekonomi Nabi Muhammad SAW dan juga menanti gerakan sosialisme yang bertumpu pada ide keadilan ekonomi Karl Marx. Sehingga, kritik Karl Marx terhadap agama sebagai opium harus dijawab dengan mengubah agama sebagai madu yang bisa menyehatkan penyakit ekonomi, wabil khusus ketidakadilan ekonomi.

***

*) Oleh : Abdul Mukti Ro’uf, Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.