TIMES JAKARTA, JAKARTA – Dalam sejarah bangsa Indonesia, jarang ditemukan contoh oposisi yang elegan, santun, dan tetap menjunjung tinggi etika politik. Adapun yang patut diteladani, seperti yang dicontohkan oleh Mohammad Hatta.
Meskipun pada masa akhir kerjasamanya dengan Bung Karno hubungannya mulai merenggang, Bung Hatta tetap menjaga sikap hormat yang luar biasa.
Ungkapan legendaris Bung Hatta, "Siapa pun Bung Karno, dia tetap Presiden saya," menjadi simbol nyata dari oposisi yang beradab. Berbeda pendapat sebuah keniscayaan, tetapi tidak menanggalkan rasa hormat kepada pemimpin sah negara. Apalagi, sampai mencaki maki atau menghina.
Bung Hatta memahami bahwa oposisi dalam politik bukanlah tentang permusuhan pribadi. Ia menyadari bahwa kepentingan bangsa jauh lebih besar daripada ego atau perbedaan pendapat.
Dalam sistem demokrasi, oposisi yang sehat justru menjadi kekuatan kontrol yang penting untuk menyeimbangkan kekuasaan.
Hal tersebut dicontohkan oleh Bung Hatta, meski tidak lagi menjadi bagian dari pemerintahan.
Setelah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden pada tahun 1956, ia tidak pernah berupaya menjatuhkan Bung Karno secara pribadi. Ia tetap menghormati Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia.
Ini adalah pelajaran penting bagi generasi sekarang, di mana oposisi seringkali dimaknai sebagai ajang saling menjatuhkan, mempermalukan, bahkan membuka aib pribadi.
Bung Hatta mengajarkan bahwa dalam beroposisi, kita harus tetap memuliakan institusi negara. Harus bisa memisahkan antara kritik terhadap kebijakan dan sikap hormat kepada pemegang jabatan.
Perbedaan Jalan Politik dan Kesaksian Tokoh Sezaman
Seiring berjalannya waktu, Bung Hatta dan Bung Karno memang memilih jalan politik yang berbeda. Bung Karno condong ke sistem Demokrasi Terpimpin, sementara Bung Hatta tetap teguh pada prinsip-prinsip demokrasi parlementer. Perbedaan inilah yang menjadi salah satu pemicu silang-pendapat di antara visi mereka.
Namun Bung Hatta tidak memilih jalan keras. Ia tidak membentuk gerakan tandingan atau menggiring opini publik untuk membenci Bung Karno. Sebaliknya, ia memilih cara yang elegan, memberikan kritik melalui tulisan, dan tetap menjaga martabat Bung Karno sebagai Presiden.
Itulah esensi oposisi yang beradab yang dicontohkan oleh Bung Hatta. Berani mengoreksi, tanpa menghancurkan. Berani mengkritisi, tanpa mempermalukan.
Sutan Sjahrir, mantan Perdana Menteri Indonesia, pernah menulis: “Bung Hatta adalah orang yang selalu memikirkan masa depan republik dengan akal yang dingin dan hati yang tulus.” Dalam surat-surat pribadinya, Sjahrir mengagumi konsistensi Bung Hatta dalam memperjuangkan demokrasi, dengan cara yang elegan. Ia tidak pernah menghasut, tidak menghina, dan selalu mengedepankan argumentasi rasional.
Begitu juga di mata Ahmad Subardjo, diplomat dan pejuang kemerdekaan. Subardjo mencatat dalam memoarnya bahwa Bung Hatta adalah orang yang selalu memisahkan antara urusan kenegaraan dan urusan pribadi.
Menurut Subardjo, meskipun Bung Hatta tidak sejalan dengan beberapa keputusan Bung Karno, ia tetap memberikan penghormatan yang tulus terhadap posisi Bung Karno sebagai kepala negara.
"Dia tidak pernah menyebut Bung Karno dengan nada sinis. Bahkan ketika bercerita tentang kebijakan yang tidak dia setujui, Bung Hatta tetap menyebutnya dengan sebutan 'Presiden kita'," tulis Subardjo. Sungguh teladan yang sangat luar biasa.
Sementara itu, Soebandrio, mantan Menteri Luar Negeri dan tokoh yang sangat dekat dengan Bung Karno, juga mengakui sikap Bung Hatta yang penuh hormat. Dalam wawancara dengan Harian Kompas pada akhir 1980-an, Soebandrio mengatakan, “Bung Hatta adalah oposisi yang menyejukkan. Beliau keras dalam prinsip, tapi lembut dalam penyampaian.”
Seni Berbeda Pendapat dan Relevansinya untuk Masa Kini
Bung Hatta mengajarkan kita bahwa berbeda pendapat adalah seni. Bukan sekadar soal benar atau salah. Namun, bagaimana cara menyampaikannya dengan penuh hikmah.
Dalam sebuah tulisannya, Bung Hatta menyebutkan, “Beroposisi itu penting. Tanpa oposisi, tidak ada keseimbangan. Tetapi dalam beroposisi, jangan sampai kita kehilangan akhlak. Jangan sampai kita terjerumus menjadi pembenci negara hanya karena kita tidak setuju dengan pemimpinnya.”
Di era Bung Hatta, perbedaan pendapat tidak harus diiringi dengan pertarungan wacana yang memecah belah masyarakat. Ia lebih memilih jalur edukasi, menulis, dan mengkritik secara substantif, bukan personal.
Bung Hatta tidak bermain di ruang publik yang penuh dengan provokasi, tapi beroposisi melalui pemikiran yang matang, bukan dengan suara yang lantang.
Apa yang dicontohkan oleh Bung Hatta sangat relevan dengan situasi politik Indonesia saat ini. Dalam realitas politik saat ini, seringkali perbedaan pendapat justru menimbulkan kebencian yang tidak rasional. Oposisi dianggap musuh, dan kritik dianggap serangan pribadi.
Para politisi masa kini seharusnya meneladani Bung Hatta. Menjadi oposisi yang beradab, yang mampu mengkritisi dengan santun. Meskipun berseberangan, namun tanpa harus merendahkan martabat orang lain.
Kita hidup dalam era yang membutuhkan keteladanan dalam bersikap dan berbicara. Oposisi yang beradab bukan berarti lunak, tetapi tetap berpegang pada etika dan integritas. Bung Hatta telah membuktikan, bahwa dengan cara yang santun, seorang oposisi justru lebih dihormati, bahkan oleh pihak yang dikritiknya.
Ungkapan Bung Hatta, "Siapa pun Bung Karno, dia tetap Presiden saya," adalah sebuah warisan moral yang luar biasa. Ia mengajarkan kepada kita bahwa perbedaan adalah keniscayaan. Namun, adab dan penghormatan kepada institusi negara adalah keharusan.
Bung Hatta telah menjadi simbol oposisi yang bermartabat, yang mampu menempatkan kepentingan bangsa di atas ego pribadi. Jadi, bangsa ini memerlukan lebih banyak sosok seperti Bung Hatta: tegas, kritis, namun tetap menghormati. Karena dalam demokrasi yang sehat, berbeda bukan berarti bermusuhan. (*)
* Oleh: Mohamad Sinal, Penulis adalah Corporate Legal Consultant, ahli bahasa hukum, founder Pena Hukum Nusantara (PHN), dan dosen Polinema.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : xxx |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |