TIMES JAKARTA, JAKARTA – Bismillah, ini adalah tulisan saya kedua terkait dengan peran TNI. Satu tentang ketahanan pangan, kedua tentang kenakalan remaja.
Karena berkaitan dengan tentara sensitif, maka saya disclaimer dulu. Bahasan lebih dari sisi sosiologis masyarakat pedesaan dan pertanian, dimana kenakalan remaja menjadi bagian dari dinamikanya. Kenapa ini sangat penting? Karena sektor pertanian dan pedesaan kita sedang kekurangan tenaga kerja muda, sementara pemudanya sedang tidak baik-baik saja.
Disclaimer kedua, saya tidak membahas peran TNI secara ketatanegaraan. Biar teman-teman hukum ketatanegaraan yang memikirkan.
Apalagi dalam posisi TNI yang sangat khas dalam kehidupan sosial politik dan sosial ekonomi di Indonesia, tentu secara ketatanegaraan butuh kajian yang khusus. Meskipun polemik sudah terjadi sejak reformasi 1998, undang-undang juga sudah dilahirkan saya kira debat ilmiah produktif harus terus dilakukan untuk kebaikan.
Balik ke masalah kenakalan remaja. Ada tiga tipe utama, yakni kenakalan umum, kenakalan dalam pencarian identitas, dan kenakalan berkelompok semi “mafia”. Tipe pertama, merupakan kenakalan yang potensial selalu ada disetiap bentuk masyarakat manapun sehingga kita tidak membahas detail.
Kenakalan ini biasanya dari anak-anak berasal dari tipe pertama yang kebablasan, lalu bergabung dengan kelompok kriminal. Atau anak yang memang berasal dari keluarga bermasalah kemudian lonely criminal untuk hidup karena minimnya peluang.
Akarnya sama, lingkungan keluarga dan lingkungan komunitas yang buruk ditambah kemiskinan. Pendekatan kesejahteraan dan perluasan kesempatan pendidikan menjadi kunci penyelesaian tipe ini, dan ini secara regular sedang dilakukan pemerintah. Mereka tidak nakal, hanya keadaanlah yang memaksa mereka melakukan kejahatan.
Kenakalan tipe kedua, yakni kenakalan karena pencarian identitas kemudian berkelompok untuk menunjukan eksistensinya. Remaja secara alamiah, sebagai makhluk sosial akan melekatkan dirinya pada kelompok tententu apakah geng motor, kelompok silat, group tawuran, vandalism dan lain lain sebagai bentuk pencarian identitas.
Aktifitas setelah tawuran antar kelompok setelah pertunjukan dangdut, antar sekolah, atau keliling malam-malam dengan membawa cat pilok bagian dari pencarian identitas dan hiburan. Perang sarung dan beberapa aktifitas berkelompok yg intinya bentuk pencarian identitas dan ada unsur hiburan/leisure yang kadang disertai dengan eksistensi pamer supremasi kelompoknya. Ini dalam pandangan saya di pedesaan sifatnya belum terlalu menakutkan-masih sebatas kebiasaan anak muda dengan gejolaknya masing-masing.
Yang paling sulit dipecahkan adalah tipe ketiga. Apalagi jika sudah masuk minuman, ganja, obat terlarang. Dalam jangka panjang kelompok ini bisa menjadi hub kejahatan. Karena dari pengguna berkelompok, biasanya bergeser menjadi pengedar. Pada titik inilah, kelompok ini akan bertransform menjadi semi "mafia".
Kelompok yang pada awalnya menjadi identitas bergeser menjadi kriminal. Elit-elit kelompok biasanya juga membangun sistem organisasi sedemikian rupa untuk mengaburkan aktifitas kejahatan pada anggota baru.
Semakin lama, anggota kelompok akan semakin tergantung bahkan menjadi bagian dari kejahatan yang dilakukan. Jika levelnya sudah demikian, maka keluar kelompok bukan perkara mudah. Jika kelompok biasa sanksi biasanya hukum ringan dan mendapat sanksi sosial.
Pada tipe ketiga ini, jauh lebih berat dan rumit. Bisa mengancam nyawa, juga merembet ke keluarga. Kenapa? Karena kelompok sudah menjadi bagian bisnis kejahatan sehingga seperti organisasi semacam semi “mafia”.
PRO KONTRA PENDIDIKAN KARAKTER
Kembali pada pokok masalah. Bagaimana dengan pro kontra pendidikan karakter di barak militer? Kuncinya adalah mengembalikan bagaimana cara mengurai tiga tipologi kenakalan remaja di atas. Untuk kasus kenakalan karena kemiskinan dan kenakalan remaja dalam mencari identitas masih bisa dikendalikan secara normal.
Cara-cara pendidikan karakter biasa masih bisa diskusikan meski memang sulit dan mahal. Konsentrasi seperti yang dilakukan Jawa Barat relatif praktis dan segera bisa dilihat, karena pada dasarnya anak-anak tersebut sedang mencari identitas dan hiburan.
Yang paling penting diperhatikan adalah kenakalan tipe ketiga karena tidak hanya menyangkut karakter. Memisahkan mereka dari kelompok semi "mafia" adalah fase yang rumit. Kebanyakan mereka yg mau insaf selalu kembali dalam kelompok karena ancaman juga ketergantungan. Kenakalan tipe ini sekarang melebar hingga ke desa-desa akibat kemajuan teknologi informasi dan gencarnya rekutmen mereka.
Dalam konteks ini, kita harus akui tentara memiliki infrastrukturnya baik tempat, sebagian keahlian disiplin, juga modal sosial. Apa modal sosialnya? Kepercayaan masyarakat dan jaringannya hingga Desa. Orang tua ikhlas mengirim, setelah pulang dalam dampingan BABINSA dilingkungan masing-masing. Jadi hulu hilir pembinaan karakter infrastrukturnya ada.
Apa faktor lain yang mendukung tentara? Memotong lingkaran setan kelompok yg sudah menjadi semi "mafia" ituh. Jaminan keamanan. Ini hal yg tidak dapat dipenuhi secara utuh sebagaimana tentara oleh anggota DPR, Komisi perlindungan Anak, mungkin juga HAM. Tentara selain dipercaya publik, memiliki orang untuk terus membina hingga ke masyarakat. Yang pada level tertentu mereka memang sudah melakukan lama sebagai bagian bina sosial lingkungan.
MULTI STRATEGI PENDIDIKAN KARAKTER
Kunci segala kunci masalah kenakalan ini adalah kemiskinan dan literasi. Dengan jumlah penduduk miskin di Indonesia tercatat sebanyak 24,06 juta orang, atau sekitar 8,57 persen dari total populasi maka kenakalan karena keterpaksaan potensial tinggi. Literasi juga sangat penting sehingga program-program pengentasan kemiskinan harus selalu seiring dengan peningkatan literasi. Ini sudah mulai dilakukan dengan sekolah rakyat berasrama yang sedang dibangun. Entah seperti apa bentuknya, kenyataanya Angka Partisipasi Sekolah (APK) baru sebesar kurang lebih 74% SMA dimana Jabar dibawah rata-rata nasional kurang lebih 71 persen tahun 2024.
Bagaimana dengan krisis identitas? Jawa Barat? Seni tradisi cenderung untuk kalangan bawah dan tidak bergengsi. Karena kiblatnya Jakarta dengan seni modernya. Di Jawa, Jatim khususnya ada pencak, bantengan, balap sapi, juga sound horeg. Beruntungnya, para pemain bantengan atau jaranan di Jawa Timur pemainnya bisa dari kalangan kaya di desa itu.
Debus? Terlalu dipinggir dan dimainkan kalangan bawah. Orang kaya di Jawa Barat hampir tidak mungkin mengizinkan anaknya main Debus.
Untuk Jawa tengah kesenian tradisi masih ditempatkan baik, meski ada potensi turun kelas. Kanalisasi pencarian identitas anak muda inilah yang sangat penting. Sekolah, masyarakat, juga pemerintah harus bahu membahu.
Bagaimana menghadapi remaja-remaja yang sudah masuk pada jaringan semi “mafia” tentu cara Jawa Barat paling efektif. Jadi, mensikapi pro kontra ini kita harus kembali ke anatomi masalah. Sekali lagi, lihat tipenya, lalu beri solusinya. Saya memahami Gubernur Jawa Barat pak KDM mengambil kebijakan tersebut.
Sebagai orang lapang, yang sehari-hari berhadapan dengan masalah itu, sementara cara konvensional mentok. Menggandeng Tentara dan Polisi adalah pilihan paling realistis saat ini.
Sebelum lebih dalam membahas keduanya, saya juga disclaimer lagi. Tulisan ini tidak membahas kategori umur secara hukum. Ini lebih melihat pada fenomena sosiologisnya. Karena pada kategori hukum, seringkali ada kesenjangan dengan realitas. Ada anak umur 15 tahun bisa berprilaku sadis seperti penjahat kakap. Bagi orang kampung, perbuatan yang dilihat bukan umur. Maka tak heran banyak pelaku pencurian dihakimi massa karena hal itu, meski mereka tahu pelaku masih di bawah umur.
Pada akhirnya pro dan kontra harus dipahami dari tipe-tipe kenakalannya. Pertama, bagaimana karakteristik masalah selengkapnya, lalu pilih siapa yg paling kompeten. Setelah itu baru lembaga mana paling siap dan dipercaya masyarakat. Jadi, semua harus berperan dalam proses apa dan kompetensi apa. Berlaku baik komisi-komisi, polisi, tentara, aktifis dan politisi. Kenakalan remaja adalah masalah teknis psikologis dan sosiologis, selesaikanlah dengan instrumen itu, bukan instrumen politis. Demikian! (*)
* oleh: Prof. Mangku Purnomo. PhD, Guru Besar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian Universitas Brawijaya
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : xxx |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |