https://jakarta.times.co.id/
Wawancara Khusus

Geoekonomi Baru Indonesia, Dari Hilirisasi ke Kemandirian Fiskal

Senin, 27 Oktober 2025 - 11:41
Geoekonomi Baru Indonesia, Dari Hilirisasi ke Kemandirian Fiskal Dr. Firre An Suprapto, Pengamat Kebijakan Publik Universitas Negeri Surabaya.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Perubahan arah ekonomi dunia kini memasuki babak baru. Fragmentasi perdagangan internasional, proteksionisme negara besar, dan tekanan inflasi membuat banyak negara harus berpikir ulang tentang strategi pertumbuhannya. 

Dalam konteks itu, Indonesia sedang menjalankan agenda besar melalui Asta Cita dan Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC) di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto untuk periode 2025–2029.

Delapan misi besar dan delapan quick wins dalam PHTC tak hanya dimaksudkan untuk mempercepat capaian kesejahteraan sosial, tetapi juga menjadi instrumen geoekonomi. Yakni cara Indonesia menata ulang kekuatan ekonominya di tengah dinamika global.

Untuk memahami lebih jauh bagaimana arah kebijakan ini bertransformasi menjadi kekuatan baru Indonesia, TIMES Indonesia mewawancarai khusus Dr. Firre An Suprapto, pengamat kebijakan publik dari Unesa Surabaya, yang juga tenaga ahli di Banggar DPR RI. 

Dalam perbincangan yang berlangsung di Jakarta, lelaki yang akrab disapa Pak Aan ini menjelaskan secara mendalam bagaimana Indonesia dapat memperkuat ketahanan ekonomi, memanfaatkan momentum hilirisasi, dan membangun kemandirian fiskal yang sehat menuju Indonesia Emas 2045.

Berikut petikan lengkap wawancaranya. 

Doktor Aan, Anda kerap bahwa dunia sedang berada dalam pusaran geoekonomi baru. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan itu?

Begini ya. Geoekonomi adalah perpaduan antara kekuatan ekonomi dan strategi geopolitik. Saat ini, dunia sedang mengalami pergeseran besar. Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Tiongkok saling mengunci dalam perang dagang, sementara Eropa fokus pada energi hijau dan keamanan rantai pasok. Akibatnya, ekonomi global diproyeksikan tumbuh hanya sekitar 3,3% pada 2025 (menurut IMF dan OECD), lebih rendah dibandingkan masa pra-pandemi.

Bagaimana posisi Indonesia di dalamnya?

Indonesia menjadi bagian dari sistem yang terimbas itu. Makanya, kita harus siap menghadapi proteksionisme yang makin tinggi dan kompetisi investasi yang ketat. Karena itu, arah pembangunan kita sekarang diarahkan pada kemandirian nasional, bukan ketergantungan impor atau pasar luar negeri. Inilah yang saya sebut geoekonomi baru Indonesia, yakni strategi ekonomi yang berakar pada kekuatan domestik, tapi adaptif terhadap dinamika global.

Salah satu poin yang Anda tekankan adalah pentingnya hilirisasi. Banyak yang menyebut hilirisasi ini sebagai game changer. Seberapa besar dampaknya terhadap ekonomi nasional?

Sangat besar. Hilirisasi adalah jantung dari transformasi ekonomi kita. Tahun 2024, kontribusi ekspor berbasis komoditas mentah masih sekitar 60% dari total ekspor nasional, padahal nilai tambahnya rendah. Dengan mendorong hilirisasi, nilai ekspor bisa meningkat hingga tiga kali lipat.

Seperti apa contohnya?

Banyak. Salah satunya sektor nikel. Sebelum hilirisasi, ekspor bijih nikel hanya menghasilkan sekitar USD 3,3 miliar per tahun. Setelah hilirisasi, nilainya melonjak menjadi lebih dari USD 30 miliar pada 2024. Itu artinya, setiap ton bijih nikel yang dulu diekspor mentah kini memberikan nilai tambah sepuluh kali lipat di dalam negeri.

Tapi kan kebanyakan nikel berhenti di smelter, bagaimana Anda melihat ini?

Itu dia, itu yang tidak boleh. Hilirisasi (nikel misalnya) tidak boleh berhenti di smelter. Pemerintah harus memastikan transfer teknologi, membangun pusat riset material, dan menyiapkan tenaga kerja terampil. Hilirisasi yang cerdas adalah hilirisasi yang melahirkan ekosistem industri nasional, bukan sekadar perpanjangan tangan korporasi global.

Baik, bagaimana dengan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Pemeriksaan Kesehatan Gratis (PKG) juga dikaitkan dengan geoekonomi. Mengapa program sosial ini penting dalam konteks ekonomi strategis?

Sangat penting. Karena kebijakan sosial yang kuat bisa menjadi mesin ekonomi. Program MBG, misalnya, bukan hanya soal gizi anak sekolah. Ia menciptakan kepastian pasar bagi petani, peternak, dan pelaku UMKM. Dengan anggaran sekitar Rp 71 triliun per tahun, MBG bisa menggerakkan perekonomian daerah hingga Rp 14,6 triliun dan menambah lapangan kerja sekitar 0,19%, jika bahan bakunya disuplai dari dalam negeri.

Itu juga berlaku untuk PKG?

Benar. Program PKG ini bukan sekadar layanan kesehatan, tetapi juga investasi produktivitas. Pemeriksaan gratis bagi jutaan warga akan menurunkan beban biaya kesehatan jangka panjang. Dalam data Kemenkeu 2025, sudah Rp 4,7 triliun dialokasikan untuk tahap awalnya. Dampaknya langsung terasa di lapangan: meningkatnya permintaan alat kesehatan, tumbuhnya investasi farmasi, hingga terbukanya lapangan kerja medis.

Artinya apa?

Artinya adalah kesehatan, pendidikan, dan pangan merupakan tiga pilar geoekonomi domestik. Jika ketiganya kokoh, fondasi pembangunan jangka panjang akan stabil.

Bagaimana dengan pendidikan unggul yang Anda sebut sebagai cadangan strategis bangsa?

Pendidikan unggul itu the real capital dalam geoekonomi modern. Negara seperti Korea Selatan dan Jepang tidak kaya sumber daya alam, tapi kaya sumber daya manusia yang unggul. Indonesia punya peluang serupa jika kita bisa memodernisasi pendidikan dasar dan menengah.

Program Sekolah Unggul dan Madrasah Berkualitas yang kini masuk dalam PHTC diarahkan ke sana. Dengan digitalisasi sekolah dan peningkatan kompetensi guru, kita menyiapkan generasi yang tidak hanya konsumtif, tapi produktif secara teknologi. 

Hubungannya dengan hilirisasi apa?

Erat dong. Kalau hilirisasi adalah strategi jangka menengah, maka pendidikan adalah investasi jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045.

Baik Pak. Sekarang kita masuk ke soal fiskal. Anda menyinggung pentingnya pembentukan Badan Penerimaan Negara dan digitalisasi perpajakan. Apa kaitannya dengan geoekonomi?

Secara teori, kemandirian fiskal adalah pondasi dari kedaulatan ekonomi. Selama ini, rasio pajak Indonesia masih rendah, sekitar 9,8% terhadap PDB, padahal idealnya di atas 15%. Dengan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) dan menerapkan sistem perpajakan digital, kita bisa memperluas basis pajak, menekan kebocoran, dan meningkatkan efisiensi penerimaan negara.

Hubungannya dengan teknologi dan digitalisasi?

Tentu erat sekali. Dalam era digital, ekonomi bergerak cepat. Transaksi daring, aset kripto, dan industri kreatif tumbuh eksponensial, tapi belum seluruhnya masuk dalam basis pajak. Jadi digitalisasi bukan sekadar modernisasi sistem, tapi strategi untuk mengamankan sumber daya fiskal negara agar kebijakan ekonomi tidak tergantung pada utang luar negeri.

Apakah Anda melihat sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter kita sudah cukup solid?

Masih perlu diperkuat. Interaksi antara kebijakan fiskal dan moneter sering kali belum sinkron. Saat fiskal ekspansif untuk mendorong konsumsi, moneter harus cermat menjaga inflasi dan likuiditas. Studi Pravitasari & Insukindro (2023) menunjukkan bahwa koordinasi yang baik antara dua kebijakan ini berpengaruh signifikan terhadap stabilitas makroekonomi Indonesia.

Apa itu yang sering Anda sebut geoekonomi terintegrasi?

Ya tepat sekali. Saya sering menyebutnya “geoekonomi terintegrasi”. Artinya, di mana kebijakan fiskal, moneter, dan digital berjalan harmonis. Kalau itu bisa dicapai, ekonomi kita akan lebih tahan terhadap guncangan eksternal seperti fluktuasi harga minyak, krisis pangan, atau ketegangan geopolitik global.

Jadi apa langkah paling strategis bagi Indonesia lima tahun ke depan?

Pertama, perkuat basis produksi dalam negeri. Mulai dari pangan, energi, hingga industri hijau. Kedua, jaga kesehatan fiskal dan disiplin belanja negara agar setiap rupiah membawa efek berganda. Ketiga, percepat digitalisasi layanan publik agar kebijakan ekonomi bisa berbasis data real-time.

Jika tiga langkah ini dijalankan secara konsisten, Indonesia akan melangkah menuju Geoekonomi Kemandirian Nasional. Kita tidak lagi sekadar pasar dunia, tapi pemain utama dalam rantai ekonomi global yang berkeadilan.

Ada pesan terakhir Anda untuk pemerintah dan masyarakat?

Pemerintah harus berani keluar dari jebakan jangka pendek. Jangan terjebak dalam politik angka dan proyek instan. Kita sedang membangun peradaban ekonomi baru.

Dan masyarakat pun perlu memahami: kemandirian nasional tidak bisa dibangun oleh pemerintah saja. Diperlukan sinergi pentahelix—akademisi, media, dunia usaha, masyarakat, dan pemerintah daerah—untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

Kalau dulu Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan politik, maka tugas generasi hari ini adalah memproklamasikan kemerdekaan ekonomi. Itulah makna sejati dari geoekonomi Indonesia. (*)

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.