TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sekretaris Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) PBNU, Abdul Hakam Aqsho menegaskan bahwa struktur organisasi Nahdlatul Ulama (NU) secara tegas menganut prinsip “kepemimpinan kolektif-kolegial”, bukan kepemimpinan individual. Hal itu merujuk langsung pada ketentuan Anggaran Rumah Tangga (ART) NU yang mengatur mekanisme kerja Rais ‘Aam dan Ketua Umum dalam memimpin forum-forum permusyawaratan.
Hakam menjelaskan bahwa dalam Pasal 58 ayat (2) huruf c ART NU disebutkan salah satu tugas Rais ‘Aam adalah “bersama Ketua Umum” memimpin pelaksanaan Muktamar, Musyawarah Nasional Alim Ulama, Konferensi Besar, Rapat Kerja, Rapat Pleno, serta Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah. Ketentuan yang sama juga termuat dalam Pasal 64 ayat (2) huruf c, yang menegaskan bahwa Ketua Umum menjalankan tugas tersebut “bersama Rais ‘Aam”.
“Dua pasal itu sama-sama menggunakan frasa ‘bersama’. Artinya jelas: tidak ada kewenangan tunggal baik pada Rais ‘Aam maupun Ketua Umum dalam memimpin forum-forum strategis organisasi,” ucap Hakam, dikutip dari keterangan persnya, Rabu (3/12/2025).
Ia menambahkan, penggunaan frasa tersebut bukan sekadar pilihan redaksi. Secara hukum organisasi, kata Hakam, hal itu menegaskan bahwa NU berada pada paradigma kepemimpinan kolektif-kolegial yang mewajibkan pengambilan keputusan dilakukan secara bersama, bukan berdasarkan kehendak salah satu pihak.
Lebih jauh, Hakam mengutip Pasal 105 ART NU mengenai tata urutan peraturan di lingkungan NU, mulai dari Qonun Asasi hingga ketentuan lembaga. Menurutnya, struktur tersebut menunjukkan bahwa ART memiliki kedudukan sangat kuat dalam menentukan prosedur dan legitimasi organisasi. Karena itu, setiap tindakan yang menyimpang dari ketentuan ART otomatis kehilangan dasar legal maupun proseduralnya.
“Jika ada tindakan sepihak dalam memimpin permusyawaratan, tindakan itu tidak sesuai mandat ART NU dan dengan demikian tidak memiliki legitimasi sebagaimana dituntut oleh tata aturan organisasi,” ujarnya. (*)
Islah Dinilai sebagai Jalan Konstitusional
Dengan mempertimbangkan keseluruhan norma tersebut, Hakam menyatakan bahwa islah atau rekonsiliasi menjadi jalan paling konstitusional untuk merumuskan keputusan organisasi yang sah. Islah, menurutnya, membuka ruang bagi kembalinya prinsip kolegialitas sebagaimana dikehendaki oleh ART.
“Penyelesaian sepihak yang tidak mengindahkan prinsip kolektif-kolegial justru berpotensi melanggar ketentuan internal dan menimbulkan konsekuensi legal maupun organisatoris. Karena itu, islah adalah opsi yang paling sesuai dengan konstitusi organisasi,” katanya.
Hakam menutup pernyataannya dengan menegaskan bahwa ketaatan pada ART adalah fondasi utama menjaga marwah dan ketertiban organisasi NU.
“Seluruh proses permusyawaratan harus kembali pada koridor hukum organisasi yang telah disepakati bersama,” tandasnya. (*)
| Pewarta | : Ahmad Nuril Fahmi |
| Editor | : Ferry Agusta Satrio |