TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sebuah penelitian terbaru dari Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia mengungkap fakta mengejutkan: keberhasilan pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak ditentukan oleh kampanye yang membangun rasa takut, melainkan oleh dua faktor kunci yaitu persepsi efikasi masyarakat dan kekuatan norma kelompok.
Peneliti Trisia Megawati Kusuma Dewi memaparkan temuan ini dalam Sidang Terbuka Program Doktor Ilmu Lingkungan. "Melalui pendekatan mixed methods dan eksperimen pesan komunikasi lingkungan pada petani Desa Makmur Peduli Alam (DMPA), penelitian menunjukkan bahwa partisipasi petani dalam pencegahan karhutla lebih dipengaruhi oleh keyakinan seberapa efektif dan dapat dilakukan tindakan pencegahan karhutla dan norma kelompok ketimbang rasa ancaman," jelas Trisia, Senin (24/11/2025).
Konteks Permasalahan dan Tantangan
Data yang dihimpun Trisia menunjukkan 99% kebakaran hutan dipicu aktivitas manusia, sementara 69% masyarakat masih menggunakan teknik tebas bakar. Kondisi ini menjadi tantangan serius bagi pencapaian target Indonesia's FOLU Net Sink 2030.
Melalui pemetaan menggunakan Interpretive Structural Modeling (ISM), penelitian mengidentifikasi:
-
Tingkat nasional: Aktor kunci adalah pemerintah pusat dan KLHK dengan kendala utama koordinasi antar lembaga
-
Tingkat tapak: Manggala Agni sebagai aktor kunci dengan hambatan terbesar pada komunikasi dan koordinasi pemberdayaan masyarakat
Eksperimen Komunikasi: Fear Appeal vs Norma Kelompok
Eksperimen komunikasi lingkungan yang membandingkan pesan weak fear appeal dan strong fear appeal pada petani DMPA menghasilkan temuan signifikan. "Hasilnya, pesan berbasis ancaman memang berpengaruh signifikan terhadap kemauan berpartisipasi, tetapi tidak secara langsung membentuk sikap. Sebaliknya, norma kelompok terbukti jauh lebih menentukan tindakan pencegahan karhutla," kata Trisia.
Model Komunikasi Lingkungan Baru
Penelitian ini berhasil mengembangkan model komunikasi lingkungan baru melalui integrasi empat teori: Extended Parallel Process Model (EPPM), Theory of Planned Behavior (TPB), The Reason Action Theory (TRA), dan Social Interaction Theory (SIT).
Model tersebut menunjukkan bahwa dalam konteks sosial-ekologis desa berlahan gambut, efikasi dan norma kelompok bekerja lebih kuat daripada persepsi ancaman. Temuan ini mengarahkan pada kebutuhan penyesuaian strategi kampanye dari pendekatan berbasis ketakutan menuju peningkatan efektivitas pencegahan dan penguatan relasi sosial.
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
Promotor penelitian, Herdis Herdiansyah, yang termasuk dalam daftar 2% peneliti terbaik dunia 2025, menyatakan harapannya. "Saya berharap penelitian ini dapat berlanjut dengan skala lebih besar dan pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan regulasi yang sejalan dengan rekomendasi dalam penelitian ini," ujar Herdis.
Penelitian ini mengisi kekosongan riset terkait integrasi komunikasi risiko, perilaku lingkungan, dan konteks sosial dalam pencegahan karhutla, sekaligus memberikan dasar ilmiah untuk pengembangan strategi komunikasi yang lebih efektif dan presisi sesuai karakteristik lokal. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Efektivitas Pencegahan Karhutla Ternyata Bergantung pada Norma Kelompok, Bukan Rasa Takut
| Pewarta | : Antara |
| Editor | : Faizal R Arief |