TIMES JAKARTA, JAKARTA – Peringatan Hari Guru tahun ini terasa muram. Di balik janji-janji manis dan retorika tentang kemajuan pendidikan, nasib para pahlawan tanpa tanda jasa justru terkatung-katung di persimpangan jalan. Mereka dihadapkan pada kebijakan rezim yang tidak hanya abai, tetapi dalam banyak hal, justru memperparah kondisi yang sudah lama mereka tanggung.
Ironi itu semakin nyata ketika kita menyaksikan betapa pemerintah gagal memenuhi janjinya untuk mensejahterakan guru, terutama guru honorer, yang menjadi tulang punggung pendidikan di negeri ini.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa guru honorer hidup dalam ketidakpastian. Upah yang jauh dari layak, tunjangan yang minim, dan masa depan yang suram adalah menu sehari-hari. Bukannya mencari solusi permanen, pemerintah justru kerap membuat keputusan yang kontra-produktif.
Pemangkasan alokasi dana BOS untuk gaji guru honorer adalah contoh nyata betapa negara hadir sebagai entitas yang pelit, bukan pelindung. Kebijakan ini bukan hanya memukul perekonomian guru, tetapi juga memperlihatkan cara pandang keliru pemerintah: bahwa guru dianggap sebagai beban keuangan, bukan sebagai investasi utama peradaban.
Logika pemerintah dalam memandang guru sebagai beban menunjukkan misinterpretasi terhadap konstitusi. Alih-alih memandang gaji guru dan dosen sebagai bentuk investasi sumber daya manusia, hal itu justru dilihat sebagai tantangan keuangan yang memberatkan.
Cara pandang inilah yang melahirkan kebijakan tambal sulam dan tidak menyentuh akar persoalan. Negara terlambat hadir, dan ketika hadir, yang dibawa bukanlah solusi, melainkan kebijakan yang justru mengerdilkan martabat para pendidik.
Ketika masalah kesejahteraan tidak kunjung usai, narasi pemerintah tiba-tiba beralih ke isu kompetensi. Muncul pernyataan bahwa masih banyak guru yang perlu “ditatar” karena dianggap kurang kompeten.
Wacana ini berbahaya karena menciptakan persepsi seolah-olah akar masalah pendidikan terletak semata-mata pada kemampuan guru, sambil mengabaikan tanggung jawab negara untuk menciptakan ekosistem yang mendukung.
Memang, peningkatan kompetensi adalah hal yang penting. Namun, menyerukan hal itu tanpa terlebih dahulu memastikan kesejahteraan yang layak adalah sebuah kekeliruan. Bagaimana mungkin guru dapat fokus mengembangkan kompetensinya jika mereka masih disibukkan dengan urusan memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari?
Logika ini ibarat meminta seseorang untuk berlari kencang dengan perut keroncongan dan kaki yang dirantai. Wacana kompetensi menjadi alat untuk mengalihkan isu dari kegagalan negara memenuhi hak-hak dasar para pendidik.
Program Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) digadang-gadang sebagai jalan keluar bagi nasib guru honorer. Namun, dalam implementasinya, program ini justru menyisakan banyak persoalan.
Proses rekrutmen yang berbelit, formasi yang terbatas, dan ketidakpastian setelah lulus seleksi menambah panjang daftar penderitaan guru honorer. Mereka yang gagal dalam seleksi PPPK kembali terdampar dalam ketidakpastian, sementara janji penyerapan tenaga honorer seolah menjadi ilusi yang tak kunjung terwujud.
Program ini, meski bermaksud baik, tapi tetap tidak mampu menampung seluruh guru honorer yang jumlahnya mencapai ratusan ribu. Akibatnya, terjadi kesenjangan baru antara mereka yang berhasil menjadi PPPK dan yang tetap teronggok sebagai tenaga honorer dengan upah minim.
Negara sekali lagi terlihat setengah hati dalam menyelesaikan masalah. Kehadirannya tidak menyeluruh, dan justru menciptakan fragmentasi baru di kalangan pendidik.
Bukti paling telak tentang tidak seriusnya pemerintah dalam menempatkan guru sebagai prioritas terungkap dalam rancangan anggaran pendidikan untuk tahun 2026. Sebuah analisis mengungkap fakta yang mencengangkan: hampir 30% dari anggaran pendidikan dialokasikan untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG). Alokasi yang masif untuk proyek makan-makan ini kontras dengan realitas pilu yang dialami oleh jutaan guru honorer di lapangan.
Pilihan anggaran ini bukanlah kesalahan teknis, melainkan cerminan dari filosofi dan orientasi pembangunan pendidikan yang keliru. Pemerintah terobsesi pada pembangunan gedung-gedung megah, sambil mengabaikan fondasi terpenting dari pendidikan itu sendiri: guru yang sejahtera dan bermartabat.
Kebijakan ini seperti membangun istana megah dengan pondasi yang rapuh. Apa artinya gedung sekolah yang baru dan berteknologi tinggi jika di dalamnya, guru-guru sibuk memikirkan bagaimana menyambung hidup hingga akhir bulan?
Alokasi anggaran yang timpang ini mempertegas klaim bahwa negara memandang guru sebagai beban. Dana triliunan rupiah dengan mudahnya dikucurkan untuk beton dan besi, sementara untuk menaikkan tunjangan dan merekrut guru secara permanen, pemerintah selalu berkelit dengan dalih keterbatasan fiskal.
Prioritas yang terbalik ini menunjukkan bahwa bagi rezim ini, pencitraan melalui pembangunan fisik lebih penting daripada membangun sumber daya manusia melalui kesejahteraan para pendidik. Pada akhirnya, kebijakan anggaran 2026 bukanlah tentang pendidikan, melainkan tentang proyek. Dan sekali lagi, guru tersingkirkan dari peta prioritas.
Guru berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, beban moral untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tetap mereka pikul dengan penuh dedikasi. Di sisi lain, pengabaian negara membuat mereka terperangkap dalam lingkaran kemelut yang tak berujung. Peringatan Hari Guru seharusnya menjadi momentum refleksi bagi pemerintah untuk mengembalikan harkat dan martabat guru sebagai pilar peradaban.
Sudah waktunya pemerintah berhenti dari kebijakan yang setengah hati dan parsial. Dibutuhkan komitmen politik yang kuat dan keberpihakan anggaran yang nyata untuk menyelesaikan masalah guru honorer dan meningkatkan kesejahteraan seluruh pendidik.
Negara tidak boleh lagi terlambat hadir, apalagi hadir dengan kebijakan yang memperparah keadaan. Guru telah membuktikan dedikasinya sebagai pahlawan tanpa tanda jasa.
Kini, saatnya negara membuktikan komitmennya sebagai pelindung dan pemberi jasa yang layak bagi para pahlawannya. Jika tidak, kita hanya akan menyaksikan para pahlawan itu terus terpinggirkan di persimpangan jalan, sambil memikul beban yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita bersama.
***
*) Oleh : Rifqi Fadhillah, Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Biro Pendidikan PB PMII.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Guru dalam Persimpangan Jalan
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |