TIMES JAKARTA, JAKARTA – Negeri ini, dalam cita-cita luhur para pendirinya, begitu agung menempatkan alam sebagai rahim kehidupan bersama. Pasal 33 UUD 1945 bukan semata deretan kalimat hukum, melainkan jantung kebangsaan yang berdegup untuk satu pesan keramat: bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Betapa indah pandangan ini, semacam janji suci negara kepada rakyat, bahwa gunung-gemunung, sungai-sungai mengalir, hingga hutan raya yang menghijau semuanya bukan milik segelintir orang, tetapi warisan bersama yang harus dijaga, dirawat, dan diarahkan untuk kesejahteraan semua.
Namun realitas hari ini sering membuat hati tercekik pelan, Negara bahkan hanya takut pada evoria simbol "one piece" yang lagi viral, seakan hal itu akan merusak ideologi bangsa. Padahal Pasal 33 UUD 45 kerap tinggal sebagai puisi sakral yang dipahat di lembar konstitusi, sementara tanah di bawah pijakan kita justru rusak dan menangis.
Tambang-tambang menganga melebihi luka, menyedot bukan hanya isi perut bumi, tapi juga napas kehidupan warga sekitar. Hutan ditebang bukan dengan cinta, melainkan dengan nafsu terburu-buru demi angka pertumbuhan ekonomi.
Sungai tercemar; air yang dahulu bening menyejukkan kini keruh membawa nestapa, tak lagi layak diminum, tak lagi layak menjadi tempat bermain anak-anak yang riang.
Negara sering tampak gagah saat bicara pembangunan, tetapi seperti kehilangan kata-kata ketika rakyat bertanya: kemakmuran siapa yang sedang dibangun? Mengapa negara hanya takut pada viralitas dunia maya? Sebegitu lunturkah bangsa ini memahami pancasila?
Sesungguhnya, lingkungan bukan sekadar hiasan panorama, melainkan syarat pokok keberlangsungan kehidupan negara. Tanpa air bersih, tak mungkin tumbuh kesehatan. Tanpa tanah subur, pangan merana. Tanpa hutan teduh, banjir dan longsor menjadi tamu yang semakin sering datang tanpa undangan.
Konstitusi telah mewajibkan agar kekayaan alam dijalankan dengan prinsip kebersamaan, keadilan, dan keberlanjutan, agar kesejahteraan bukan hanya milik hari ini, tetapi juga milik anak cucu di masa depan.
Maka sudah saatnya negara kembali menundukkan kepala, mendengarkan suara lirih bumi, dan menegakkan amanat pasal 33 UUD 45 bukan sekadar jargon, tetapi sebagai laku nyata.
Melestarikan lingkungan adalah wujud cinta paling strategis bagi masa depan bangsa. Pemerintah harus berani memperketat izin usaha tambang, mengembalikan fungsi pengawasan sebagai pagar moral, serta memastikan bahwa setiap jengkal kekayaan alam yang dikelola, membawa manfaat adil bagi rakyat sekitar, bukan sekadar menumpuk laba korporasi raksasa.
Negara harus hadir bukan sebagai penonton, melainkan sebagai penjaga yang tegas namun berwelas asih. Sebab, pada akhirnya kemajuan sejati bukan hanya diukur dari gedung yang menjulang atau jalan tol yang memanjang, tetapi dari kemampuan bangsa menatap masa depan tanpa merusak warisan alamnya.
Pasal 33 UUD 45 adalah cahaya penuntun jalan. Bila negara ingin disebut maju, maka mulailah dengan merawat bumi sebagaimana orang tua merawat anak-anaknya, penuh kesabaran, kasih sayang, serta rasa tanggung jawab yang tak pernah putus.
Sebab ketika lingkungan telah rusak total, tak akan ada modernitas yang bisa kita banggakan bahkan yang tersisa hanyalah penyesalan di tanah gersang.
Maka mari kita berjalan kembali menuju cita-cita semula, menjadikan kekayaan alam bukan sebagai alat eksploitasi, tetapi sebagai nafas keadilan dan kesejahteraan sejati bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hentikan berkomentar dan ikut larut soal remeh temeh seperti simbol gak jelas seperti "one piece", karena sebenarnya hal itu bagian dari kritik terhadap negara yang harus diterima dengan penuh penyesalan tentang ketidak hadiran negara pada permasalahan rakyatnya sendiri.
***
*) Oleh : Mahrus Ali, Sebagai Penggiat Kebudayaan dan Aktivis NU.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |