TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di tengah banjir konten digital yang kian tak terbendung, One Piece tetap berdiri sebagai mercusuar budaya pop global yang menyatukan jutaan penggemar dari berbagai latar belakang budaya.
Lebih dari dua dekade sejak pertama kali diterbitkan, serial karya Eiichiro Oda ini telah melampaui batas geografis, bahasa, bahkan nilai-nilai lokal yang berbeda.
Pertanyaannya, mengapa cerita petualangan bajak laut dengan tokoh-tokoh fiktif ini mampu mengikat emosi kolektif masyarakat dari Tokyo, Brazil, Jerman, hingga Indonesia?
Jawabannya mungkin terletak pada satu hal: One Piece adalah cerminan dari pergulatan nilai-nilai universal manusia yaitu mengenai kebebasan, keadilan, persahabatan, dan harga diri yang dikemas dalam simbol budaya yang bisa diterima lintas budaya dan generasi.
Imajinasi, Perlawanan, dan Harapan Bersama
Kita hidup dalam dunia yang kompleks dan sering tidak adil. Di tengah ketimpangan sosial, krisis ekonomi, dan otoritas politik yang diragukan, masyarakat mencari ruang alternatif untuk mengekspresikan kegelisahan mereka. One Piece memberi ruang itu.
Melalui karakter Monkey D. Luffy yang berani menantang Pemerintah Dunia yang korup dan penuh manipulasi, masyarakat menemukan simbol harapan dan keberanian.
Dalam cerita Enies Lobby, pembebasan satu orang sahabat menjadi simbol perlawanan terhadap sistem peradilan yang timpang-sesuatu yang akrab di banyak negara, termasuk Indonesia.
Dalam studi kultural yang dilakukan oleh Ian Condry (2013) menemukan bahwa anime menjadi alat “resistensi simbolik” terhadap dominasi kekuasaan. Serial ini memungkinkan masyarakat menyuarakan keresahannya secara metaforis, tanpa harus berbicara secara frontal dalam ruang publik yang kerap dibatasi.
Solidaritas dan Empati Budaya
Kisah Fishman Island dalam One Piece menggambarkan konflik rasial, kebencian historis, dan perjuangan rekonsiliasi. Penonton dari latar belakang budaya manapun bisa berempati terhadap ketidakadilan yang dialami para manusia ikan.
Hal ini menunjukkan bahwa simbol-simbol dalam One Piece bersifat “transkultural” makna moralnya dapat ditransfer dan dipahami secara lintas budaya.
Perspektif psikologi lintas budaya menunjukkan bahwa empati terhadap kelompok lain (outgroup empathy) dapat dibangun melalui narasi kolektif yang menyentuh nilai-nilai universal.
Menurut Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (2011) ketika media populer mengandung nilai cultural universal; seperti keadilan, keluarga, dan pengorbanan. Maka individu dari budaya yang berbeda tetap dapat terhubung secara emosional.
Dengan demikian, One Piece bukan hanya menjual hiburan, tetapi menciptakan “zona perasaan bersama” di mana nilai kemanusiaan diterjemahkan dalam bahasa visual dan cerita yang inklusif.
Identitas Diri dan Keberanian Menjadi Berbeda
Karakter-karakter dalam One Piece memiliki identitas yang unik, bahkan ekstrem. Mereka memiliki tubuh aneh, masa lalu menyakitkan, dan gaya hidup yang tidak konvensional. Namun dalam dunia One Piece, mereka diterima dan bahkan dihargai karena keunikan mereka.
Ini sangat resonan dengan dinamika generasi muda saat ini, yang sedang mencari jati diri dalam dunia yang cepat berubah dan penuh tekanan sosial.
Zygmunt Bauman (2005) menyebut masyarakat modern sebagai “liquid modernity” penuh ketidakpastian dan labil dalam nilai. Di tengah kondisi ini, Luffy dan kru Topi Jerami menjadi model psikologis tentang keberanian menjadi diri sendiri, bahkan jika itu berarti melawan arus.
Psikologi lintas budaya melihat pencarian identitas sebagai proses yang berbeda-beda antara budaya kolektivistik seperti Indonesia dan budaya individualistik seperti Amerika.
Narasi One Piece berhasil menjembatani keduanya: individu dibebaskan untuk bermimpi dan berjuang, tapi tetap dalam ikatan sosial yang kuat. Kombinasi ini menjadikannya universal dan bisa diterima lintas budaya.
Budaya Populer dan Komunitas Global
Komunitas penggemar One Piece terbentuk dari latar belakang budaya yang sangat beragam. Namun mereka bersatu dalam imajinasi bersama, menciptakan karya seni, teori cerita, hingga kegiatan sosial. Hal inilah yang oleh Henry Jenkins (2006) disebut sebagai budaya partisipatif di mana media bukan hanya dikonsumsi, tetapi dimaknai bersama.
Dari perspektif psikologi lintas budaya, fenomena ini memperlihatkan bahwa keterlibatan dalam komunitas global dapat memperkuat rasa memiliki (sense of belonging) tanpa harus menghapus identitas lokal.
Masyarakat Indonesia, misalnya, bisa mencintai One Piece sekaligus mengaitkannya dengan nilai-nilai lokal yang ada di Indonesia seperti gotong royong dan keadilan sosial.
One Piece adalah narasi yang lintas ruang, lintas waktu, dan lintas budaya. Kehadirannya bukan hanya sebagai hiburan, tetapi sebagai refleksi nilai-nilai yang diyakini yaitu mengenai kebenaran, perjuangan, dan harga diri.
Lewat simbolisme dan karakter-karakter fiksinya, masyarakat dunia mengekspresikan harapan, kritik, dan identitasnya dalam bahasa Dalam dunia yang makin terfragmentasi oleh politik identitas dan algoritma digital, karya seperti One Piece justru menjadi jembatan emosional antar budaya.
Hal ini mengingatkan kita bahwa di balik semua perbedaan, manusia pada dasarnya menginginkan hal yang sama yaitu diterima, dihargai, dan bebas menjadi dirinya sendiri.
***
*) Oleh : Dr. phil. Zarina Akbar, M.Psi., Psikolog., Fakultas Psikologi Universitas Negeri Jakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |