TIMES JAKARTA, JAKARTA – Globalisasi bukan lagi sekadar wacana, melainkan kenyataan yang hadir dalam setiap ruang kehidupan manusia. Arus informasi yang begitu cepat, penetrasi budaya asing, serta pola hidup serba instan menjadi tanda bahwa dunia kini seolah tanpa sekat.
Di satu sisi, globalisasi membuka jalan bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun di sisi lain, ia membawa ancaman serius terhadap nilai-nilai luhur bangsa, termasuk jati diri santri sebagai penjaga moral dan tradisi keislaman yang berakar kuat pada budaya lokal.
Santri sejak dulu dikenal sebagai sosok yang sederhana, tangguh, dan memiliki integritas spiritual yang tinggi. Mereka dibentuk dalam atmosfer pendidikan pesantren yang menanamkan nilai keikhlasan, kemandirian, dan kepedulian sosial. Akan tetapi, di tengah derasnya pengaruh globalisasi, nilai-nilai tersebut kini menghadapi tantangan serius.
Budaya materialisme, individualisme, dan hedonisme perlahan menggerus semangat kebersahajaan dan gotong royong yang menjadi ciri khas santri. Jika tidak disikapi dengan kesadaran dan strategi yang tepat, santri berpotensi kehilangan arah dan terjebak dalam pusaran arus modernitas yang kering nilai.
Lebih jauh, era digital yang menjadi buah dari globalisasi juga menghadirkan tantangan baru berupa penyebaran ideologi radikal dan ekstremisme melalui dunia maya. Santri sebagai bagian dari komunitas intelektual muslim dituntut untuk memiliki kemampuan literasi digital dan nalar kritis agar tidak mudah terseret oleh narasi keagamaan yang menyesatkan.
Di tengah maraknya ujaran kebencian dan polarisasi sosial berbasis agama, santri harus tampil sebagai penjaga Islam yang moderat, ramah, dan menebar kedamaian. Inilah momentum untuk mengembalikan pesantren pada peran strategisnya: menanamkan pemahaman agama yang wasathiyah, yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Selain tantangan nilai dan ideologi, globalisasi juga memunculkan persaingan global yang menuntut keterampilan dan kapasitas yang lebih luas. Santri masa kini tidak cukup hanya memahami ilmu agama, tetapi juga harus menguasai teknologi, bahasa asing, dan keterampilan kewirausahaan.
Pesantren perlu membuka ruang bagi lahirnya santri multitalenta, yang tidak hanya saleh secara spiritual tetapi juga cakap menghadapi perubahan zaman. Penguasaan terhadap ilmu pengetahuan modern bukan berarti meninggalkan nilai keislaman, melainkan justru menjadi wujud dari semangat iqra’ yang diajarkan Al-Qur’an: membaca realitas dan menjawab tantangan kehidupan dengan ilmu dan hikmah.
Upaya memperkuat jati diri santri tidak dapat dilepaskan dari pentingnya pendidikan karakter yang komprehensif. Nilai-nilai seperti kejujuran, disiplin, kesederhanaan, tanggung jawab, dan toleransi harus menjadi napas dari setiap aktivitas pendidikan di pesantren.
Keteladanan para kiai dan ustaz menjadi kunci dalam proses ini, sebab pendidikan karakter tidak lahir dari teori, melainkan dari pembiasaan dan pengalaman hidup sehari-hari. Dalam hal ini, pesantren memiliki modal sosial dan kultural yang sangat kuat untuk terus menjadi laboratorium pembentukan karakter bangsa.
Namun memperkuat jati diri santri juga berarti menjaga akar budaya yang telah menghidupi pesantren selama berabad-abad. Tradisi lokal seperti hadrah, marawis, atau seni-seni bernuansa Islam bukan sekadar ekspresi estetika, tetapi juga medium spiritual yang meneguhkan identitas.
Ketika santri mencintai budayanya sendiri, mereka tidak akan mudah tergoda oleh gemerlap budaya luar yang sering kali hampa makna. Dari sinilah muncul keyakinan bahwa menjadi santri bukan berarti menutup diri dari perubahan, melainkan mampu memilah dan memaknai perubahan dengan bijak.
Di sisi lain, pemanfaatan teknologi informasi secara bijak menjadi kebutuhan mutlak di era digital. Santri perlu diajarkan bagaimana menggunakan teknologi untuk berdakwah, berbagi ilmu, dan menyebarkan konten positif yang mencerminkan wajah Islam yang damai dan berkemajuan.
Dunia maya harus menjadi ladang dakwah baru yang memperluas peran santri sebagai agen perubahan sosial. Dengan kemampuan literasi digital yang kuat, santri dapat tampil sebagai generasi yang tidak gagap teknologi, tetapi tetap berpijak pada nilai-nilai spiritualitas yang mendalam.
Tugas memperkuat jati diri santri di tengah arus globalisasi bukanlah hal yang sederhana. Ia membutuhkan sinergi antara pesantren, pemerintah, masyarakat, dan keluarga.
Pesantren sebagai institusi pendidikan tradisional harus terus berinovasi, pemerintah perlu memberi dukungan kebijakan yang memfasilitasi pengembangan kompetensi santri, sementara masyarakat harus memberikan ruang bagi santri untuk berkarya dan berkontribusi dalam kehidupan publik.
Globalisasi tidak seharusnya dilihat sebagai ancaman, melainkan sebagai tantangan yang menuntut kesiapan spiritual, intelektual, dan moral. Santri yang memiliki jati diri kuat, berwawasan luas, dan berkarakter moderat akan mampu menjadi benteng bangsa di tengah perubahan zaman.
Mereka adalah harapan lahirnya peradaban mulia peradaban yang berakar pada nilai, berpijak pada ilmu, dan berorientasi pada kemanusiaan. Dalam tangan santri yang berjati diri, globalisasi bukan akhir dari tradisi, melainkan awal dari kebangkitan peradaban baru yang bermartabat.
***
*) Oleh : Dr. Noer Rohmah, M.Pd.I
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |