https://jakarta.times.co.id/
Opini

Membangun Kepercayaan Publik di Era Digital

Selasa, 04 November 2025 - 18:02
Membangun Kepercayaan Publik di Era Digital Niken Hapsari, Pranata Humas Lembaga Administrasi Negara.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Apakah pemerintah benar-benar mendengar suara rakyatnya? Pertanyaan ini makin relevan di tengah derasnya arus informasi dan meningkatnya kesadaran publik terhadap kebijakan pemerintah. Selama ini banyak kebijakan pemerintah yang menimbulkan kegaduhan di tengah publik bahkan jauh sebelum kebijakan itu diimplementasikan. 

Sebut saja kebijakan kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% yang kemudian dianulir, pembatalan kebijakan larangan pengecer menjual gas elpiji 3 kg, percepatan pengangkatan CASN pada Maret 2025, kontroversi penambangan Raja Ampat, serta kenaikan tunjangan anggota DPR yang belakangan menimbulkan demonstrasi besar-besaran pada Agustus silam. 

Berbagai kebijakan pemerintah yang menuai reaksi itu menunjukkan bahwa kebijakan yang disusun masih menggunakan pola lama (top down). Dari pemerintah ke masyarakat bukan sebaliknya. 

Akibatnya, publik seringkali mengetahui kebijakan setelah semuanya diputuskan. Kondisi ini mengakibatkan munculnya jarak emosional antara pembuat kebijakan dan masyarakat. Orang merasa hanya jadi objek kebijakan bukan subjek yang diajak berpikir bersama.

Hal ini terkonfirmasi dari temuan jajak pendapat Litbang Kompas pada Februari 2025 yang menemukan sebanyak 68,8% responden menilai kebijakan dan program baru yang dikeluarkan pemerintah belum disosialisasikan dengan baik. 

Akibatnya ketika kebijakan itu diimplementasikan seringkali muncul resistensi karena masyarakat merasa tidak memiliki rasa terhadap kebijakan publik dan ketika itu terjadi, partisipasi masyarakat pun menurun.

Problematika dalam komunikasi kebijakan pemerintah ini perlu segera dicarikan jalan keluar. Kebijakan yang tidak melibatkan masyarakat sejak awal sering kali menemui hambatan, berupa penolakan, demonstrasi, dan ketidakpercayaan publik kepada pemerintah. 

Program yang tampak ideal di atas kertas bisa mendapat resistensi karena publik tidak merasa dilibatkan. Jika komunikasi publik hanya berhenti pada tahap “mengumumkan keputusan,” maka ruang dialog dan pemahaman bersama tak pernah benar-benar terbentuk. 

Kondisi ini pada akhirnya akan melahirkan fenomena defisit kepercayaan (trust deficit) masyarakat kepada pemerintah. Untuk itu, perlu ada pelibatan publik yang menjadi bagian dari desain kebijakan yang akan diimplementasikn. 

Pelibatan ini bisa melalui konsultasi publik, forum jajak pendapat, serta kanal digital partisipatif yang membangun komunikasi dua arah. Tentu pelibatan ini bukan sekedar formalitas belaka, tetapi harus benar-benar dilaksanakan sesuai dengan sasaran strategis yang ingin dicapai.

Pelibatan aktif melalui komunikasi publik ini sangat penting karena selama ini pemerintah seringkali berhenti pada tahap menyampaikan informasi saja. Padahal, komunikasi yang efektif bukan soal siapa yang berbicara paling banyak, tapi siapa yang mau mendengarkan. 

Di sinilah makna sejati dari komunikasi publik yang inklusif, bukan hanya menyampaikan informasi, tetapi menciptakan ruang bagi publik untuk menjadi bagian dari proses perubahan.

Di era keterbukaan informasi digital, pencitraan yang selama ini diagung-agungkan perlahan kehilangan daya magisnya. Publik kita semakin sadar dan peka terhadap kemasan komunikasi yang terasa di setting. Sebab citra yang dibangun tanpa transparansi hanya akan menjadi ilusi yang mudah runtuh saat diuji oleh realitas.

Pemerintah perlu membangun paradigma baru dalam membangun kepercayaan publik melalui transparansi radikal. Paradigma ini tidak berhenti pada retorika keterbukaan, tetapi berani menunjukkan proses, mendengarkan kritik, dan menjadikan masyarakat bagian dari desain kebijakan. 

Konsep transparansi radikal menawarkan pendekatan yang lebih manusiawi: bukan sekadar membuka dokumen atau data publik, tetapi juga memperlihatkan proses, bahkan bagian-bagian yang belum sempurna. 

Publik tidak menuntut pemerintah untuk selalu benar, melainkan untuk selalu jujur menjelaskan mengapa keputusan diambil, bagaimana prosesnya berlangsung, dan apa dampaknya bagi mereka. Komunikasi seperti ini bukan hanya membangun pemahaman tetapi juga menumbuhkan kepercayaan.

Apalagi di era digital yang setiap hari dibanjiri hiruk pikuk informasi, publik tidak lagi pasif. Mereka bukan sekadar penerima informasi, melainkan penguji kebenaran. Apa pun yang disampaikan pemerintah akan diuji lintas kanal, dibedah di media sosial, dan dibandingkan dengan data yang tersedia. 

Dalam konteks seperti ini, transparansi bukan lagi pilihan etis, melainkan kebutuhan strategis karena pemerintah yang tidak terbuka bukan hanya kehilangan kepercayaan tetapi juga relevansi di mata publik.

Transparansi radikal bukan soal membuka semua hal tanpa batas, tetapi tentang membangun kepercayaan melalui keterbukaan yang bertanggung jawab. Pemerintah yang berani transparan bukan sedang kehilangan kendali, tetapi justru memperluas dukungan. 

Sebab di masa ketika informasi mengalir begitu cepat, kejujuran bukan sekadar nilai moral, ia adalah strategi komunikasi paling efektif untuk menjaga legitimasi dan menumbuhkan kepercayaan publik yang tahan uji.

***

*) Oleh : Niken Hapsari, Pranata Humas Lembaga Administrasi Negara.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.