TIMES JAKARTA, JAKARTA – Masuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) sering dianggap sebagai puncak kesuksesan bagi pelajar Indonesia. Sejak kecil, banyak anak sudah terbiasa mendengar ucapan seperti, “Kalau mau masa depan bagus, harus masuk PTN.” Sekilas terdengar sebagai motivasi, tetapi seiring bertambahnya usia, kalimat tersebut sering membawa tekanan yang tidak disadari.
Perjalanan menuju PTN bukan hanya soal belajar dan persiapan ujian, tetapi juga tentang menghadapi ekspektasi, ketakutan akan kegagalan, serta pandangan lingkungan yang kerap terlalu membebani. Impian yang seharusnya menyemangati, bagi sebagian pelajar justru berubah menjadi tekanan yang berat.
Tekanan itu semakin terasa ketika guru, orang tua, bahkan teman menjadikan hasil seleksi PTN sebagai tolok ukur kemampuan seseorang. Media sosial pun ikut membentuk gambaran bahwa masa depan seolah ditentukan oleh satu pengumuman kelulusan.
Unggahan ucapan selamat, tangkapan layar pengumuman kelulusan, hingga perbandingan kampus sering kali tanpa disadari memperkuat rasa cemas pelajar lain. Di balik hal tersebut, ada banyak pelajar yang diam-diam berjuang menghadapi kecemasan, kelelahan, dan rasa takut gagal.
Berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa siswa SMA mengalami peningkatan stres akademik menjelang seleksi perguruan tinggi. Namun, proses panjang yang penuh tekanan ini jarang mendapat ruang perhatian, karena yang lebih sering ditampilkan hanyalah hasil akhirnya.
Tekanan tersebut semakin nyata ketika mimpi masuk PTN berhadapan dengan realitas persaingan yang sangat ketat. Pada 2025, dari sekitar 776 ribu siswa yang mendaftar melalui jalur SNBP, hanya sekitar 23 persen yang berhasil lolos.
Jalur SNBT pun tidak jauh berbeda, dengan sekitar 860 ribu peserta yang harus bersaing memperebutkan kurang lebih 253 ribu kursi PTN. Angka-angka ini menunjukkan bahwa kegagalan tidak selalu mencerminkan kurangnya usaha, melainkan keterbatasan peluang itu sendiri.
Selain persaingan, ketimpangan fasilitas juga memperberat beban pelajar. Ada siswa yang memiliki akses bimbingan belajar mahal, guru privat, perangkat belajar lengkap, serta lingkungan yang mendukung.
Namun, tidak sedikit pula yang harus belajar mandiri dengan keterbatasan fasilitas dan kondisi lingkungan yang kurang kondusif. Perbedaan ini sering membuat pelajar merasa tertinggal bahkan sebelum benar-benar bersaing. Ketika hasil seleksi kemudian dijadikan ukuran tunggal keberhasilan, ketimpangan ini seolah diabaikan begitu saja.
Tekanan untuk masuk PTN juga membuat banyak pelajar mengabaikan kondisi dirinya sendiri. Waktu istirahat dikorbankan, hobi ditinggalkan, dan kehidupan sosial dibatasi demi mengejar target. Tidak sedikit pelajar yang merasa bersalah ketika ingin beristirahat karena takut dianggap kurang berjuang.
Dalam jangka panjang, kondisi ini tidak hanya melelahkan secara fisik, tetapi juga berdampak pada kesehatan mental. Pelajar terbiasa hidup dalam kecemasan dan menilai diri mereka semata-mata dari angka nilai dan hasil seleksi.
Banyak narasi bahwa PTN adalah satu-satunya jalan menuju masa depan yang baik menciptakan standar kesuksesan yang sempit. Padahal, setiap individu memiliki potensi, minat, dan jalur berkembang yang berbeda. Tidak semua orang harus menempuh jalan yang sama untuk bisa berhasil.
Ketika masyarakat terlalu mengagungkan satu jalur pendidikan, pelajar yang memilih atau terpaksa mengambil jalan lain sering kali merasa gagal, meskipun mereka tetap bertumbuh dan berproses dengan caranya sendiri.
Di balik semua hiruk-pikuk seleksi PTN, ada hal penting yang sering dilupakan, setiap anak berhak tumbuh tanpa tekanan berlebihan dan tanpa rasa takut gagal. Pendidikan seharusnya menjadi proses bertumbuh, bukan perlombaan yang membuat seseorang kehilangan dirinya sendiri.
Pelajar membutuhkan dukungan dan pemahaman, bukan tuntutan tanpa batas. Mereka juga perlu diberi ruang untuk mengenal diri, menentukan pilihan, dan belajar dari kegagalan tanpa stigma.
Impian masuk PTN memang baik dan patut diperjuangkan. Namun, impian tersebut tidak seharusnya menjadi beban yang membuat pelajar merasa hidupnya berakhir hanya karena satu hasil ujian.
Pendidikan adalah proses panjang yang tidak bisa diringkas dalam satu tes. Lingkungan keluarga, sekolah, hingga masyarakat perlu menghadirkan dukungan emosional yang lebih sehat dan realistis.
Setiap pelajar layak dihargai, apa pun hasil seleksi yang mereka peroleh, karena masa depan tidak hanya ditentukan oleh kampus mana yang dimasuki, melainkan oleh bagaimana mereka tumbuh, belajar, dan membangun dirinya sendiri.
***
*) Oleh : Nisa Novitri
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |