TIMES JAKARTA, MALANG – Dalam lanskap komunikasi digital di Indonesia, kemunculan tagar #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap di awal 2025 menandai eskalasi keresahan publik terhadap pemerintah.
Tagar ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan manifestasi dari keresahan kolektif masyarakat atas tata kelola pemerintahan yang dianggap semakin amburadul.
Fenomena ini merefleksikan bagaimana media sosial telah menjadi arena terbuka bagi publik untuk mengekspresikan kekecewaan sekaligus melawan narasi resmi yang dibangun pemerintah.
Konteks kemunculan #KaburAjaDulu berakar pada meningkatnya ketidakpastian sosial, hukum, dan politik di Indonesia. Pasca-pemilu yang dipandang banyak kalangan sarat manipulasi, serta berbagai keputusan kontroversial seperti UU Cipta Kerja yang dinilai merugikan buruh dan rakyat kecil, membuat sebagian masyarakat merasa kehilangan harapan terhadap perbaikan situasi negara.
Seruan #KaburAjaDulu mencerminkan sikap pesimistis generasi muda yang melihat bahwa masa depan di negeri ini kian suram, sehingga solusi paling logis adalah pergi meninggalkan Indonesia.
Di sisi lain, #IndonesiaGelap memperlihatkan kegeraman publik terhadap lemahnya transparansi pemerintah dan meningkatnya represivitas aparat terhadap kritik. Lebih dari itu, tagar ini juga menjadi simbol keresahan publik terhadap memburuknya kondisi sosial, ekonomi, dan politik.
Pemotongan anggaran pendidikan dan kesehatan yang dinilai memberatkan rakyat, maraknya mafia tanah yang merampas hak masyarakat kecil, serta ketimpangan ekonomi yang semakin tajam menjadi pemantik utama kemarahan kolektif ini.
Pada awal 2025, gelombang aksi protes yang digawangi oleh BEM SI pecah di berbagai kota besar. Mahasiswa menuntut Presiden Prabowo mencabut instruksi pemangkasan anggaran yang dinilai mencederai hak rakyat atas pendidikan dan kesehatan.
Selain itu, RUU Minerba yang memungkinkan perguruan tinggi mengelola tambang turut menjadi sumber polemik, karena dipandang mengalihkan fokus pendidikan tinggi dari pengembangan ilmu pengetahuan ke eksploitasi sumber daya alam. Kebijakan ini dianggap memperparah komersialisasi pendidikan sekaligus menggadaikan masa depan mahasiswa dan dunia akademik.
Kasus-kasus mafia tanah, pagar laut, serta maraknya disinformasi dan hukum yang lemah memperkuat kesan bahwa Indonesia tengah mengalami kemunduran demokrasi.
Bagi masyarakat digital yang kritis, situasi ini diterjemahkan dalam metafora “gelap”, menandakan kondisi negara yang tidak lagi memberikan rasa aman, kesejahteraan, dan keadilan.
Data dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah mengalami penurunan signifikan, khususnya di kalangan generasi muda.
Survei Indikator Politik Indonesia pada akhir 2023 juga mencatat bahwa 38% responden menyatakan ketidakpuasan terhadap jalannya demokrasi di Indonesia.
Angka ini mencerminkan adanya krisis legitimasi yang dirasakan oleh masyarakat. Jika tren ini berlanjut, data tahun 2025 diperkirakan akan menunjukkan eskalasi ketidakpercayaan yang lebih tinggi.
Dari perspektif kajian komunikasi digital, tagar-tagari ini menjadi bukti bahwa media sosial telah berfungsi sebagai ruang kontra-wacana (counter discourse). Platform seperti X, Instagram, hingga TikTok memungkinkan publik mengkritik penguasa secara terbuka tanpa melalui filter media arus utama yang kerap tunduk pada kekuasaan.
Melalui tagar-tagari tersebut, terbentuk solidaritas digital yang melibatkan ribuan netizen, menciptakan tekanan opini publik yang sulit diabaikan. Kajian akademis dari Fuchs (2017) menegaskan bahwa media sosial tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga medan perlawanan politik dalam konteks kapitalisme digital.
Dalam konteks Indonesia, studi Lim (2020) memperlihatkan bagaimana media sosial menjadi ruang negosiasi kekuasaan antara negara dan warga digital.
Fenomena #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap menegaskan relevansi teori-teori ini, menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi pasif, melainkan aktif membangun narasi tandingan terhadap negara.
Namun, di balik kebebasan itu, terdapat pula dampak sosial yang tidak bisa diabaikan. Pesimisme kolektif yang disebarluaskan lewat #KaburAjaDulu berpotensi menciptakan eksodus talenta muda (brain drain), di mana generasi produktif lebih memilih mencari kehidupan di luar negeri daripada membangun bangsanya sendiri.
Sementara itu, narasi #IndonesiaGelap bisa memunculkan sikap apatis terhadap politik, membuat masyarakat enggan terlibat dalam proses demokrasi karena merasa suaranya tak lagi berharga. Generasi masa kini, khususnya kelompok milenial dan Gen Z, menjadi yang paling terpapar dampak ini.
Studi Katadata Insight Center (2024) mencatat bahwa 68% anak muda Indonesia mengaku lebih cemas terhadap masa depan politik dan ekonomi negara. Paparan isu ketidakpastian di media sosial secara terus-menerus dapat memicu kecemasan kolektif dan memperburuk kondisi kesehatan mental generasi muda.
Fenomena #KaburAjaDulu dan #IndonesiaGelap seharusnya menjadi alarm keras bagi pemerintah. Ini bukan sekadar luapan emosional di media sosial, melainkan sinyal bahwa publik sedang kehilangan kepercayaan. Jika ketidakpercayaan ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin Indonesia akan menghadapi krisis sosial-politik yang lebih dalam.
Pemerintah harus mulai mengedepankan transparansi, membuka ruang dialog yang lebih luas, serta merespons kritik publik dengan pendekatan yang lebih demokratis. Hanya dengan demikian, komunikasi digital dapat bertransformasi menjadi medium rekonsiliasi, bukan sekadar arena perlawanan dan pesimisme.
***
*) Oleh : Arif Budi Prasetya, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Brawijaya dan Mahasiswa Doktoral FISIP Universitas Airlangga.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |