TIMES JAKARTA, JAKARTA – Ekonomi hijau menempati posisi strategis dalam perekonomian nasional sekaligus menjadi penggerak utama kesejahteraan pedesaan. Secara konseptual, pendekatan ini sejalan dengan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang menuntut keseimbangan antara dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Sektor pertanian sekaligus perkebunan memiliki potensi besar untuk memberdayakan masyarakat lokal, menggerakkan UMKM, serta mengubah desa tertinggal menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru jika dikelola dengan tata kelola yang baik.
Pengalaman masa lalu, terutama ekspansi lahan pada periode 1990–2010 yang mengorbankan hutan, menjadi pelajaran berharga bahwa pertumbuhan tanpa kendali justru menimbulkan kerentanan jangka panjang. Meski laju deforestasi kini menunjukkan tren menurun berkat kebijakan moratorium, risiko kerusakan tetap mengintai tanpa konsistensi penegakan aturan dan praktik berkelanjutan.
Dalam konteks itu, pergeseran paradigma dari ekspansi lahan menuju intensifikasi berkelanjutan menjadi keniscayaan. Kerangka kebijakan nasional, mulai dari kewajiban menjaga fungsi lingkungan, penerapan AMDAL, hingga perlindungan lahan gambut, menegaskan bahwa peningkatan produksi harus berjalan beriringan dengan perlindungan ekosistem dan keadilan sosial.
Implementasinya terlihat pada peremajaan kebun tua petani, peningkatan produktivitas kebun eksisting melalui varietas unggul dan praktik budidaya yang baik, serta pemanfaatan limbah pertanian sebagai pupuk organik atau sumber energi biomassa. Pendekatan ini tidak hanya lebih efisien, tetapi juga memberikan kepastian usaha tanpa mendorong pembukaan lahan baru.
Komoditas perkebunan dengan sawit sebagai contoh paling menonjol, menopang jutaan tenaga kerja, menyumbang signifikan terhadap PDB, dan menjadi tulang punggung ekonomi desa, berdampingan dengan kopi, karet, kakao, tebu, dan teh yang bernilai ekspor tinggi.
Kontribusi besar ini diiringi tantangan deforestasi, tekanan perubahan iklim, dan tuntutan pasar global terhadap produk berkelanjutan. Kebijakan Uni Eropa yang hanya menerima produk “bebas deforestasi” menegaskan bahwa keberlanjutan kini menjadi prasyarat akses pasar.
Di sinilah fondasi perkebunan berkelanjutan bertumpu pada keseimbangan ekologis tingkat lanskap, baik melalui agroforestri, konservasi lahan primer, rehabilitasi lahan kritis, pertanian tanpa bakar, pengolahan limbah ramah lingkungan, serta kepatuhan pada sertifikasi hijau seperti ISPO dan skema organik/Fair Trade. Dengan strategi terpadu ini, perkebunan dapat tumbuh sebagai pilar ekonomi hijau yang produktif, inklusif, dan lestari.
Keberlanjutan pada akhirnya tidak dapat dipisahkan dari keadilan sosial, dengan petani kecil sebagai aktor kunci. Sekitar 40 persen lahan sawit nasional dikelola oleh petani rakyat, dengan jumlah petani plasma dan swadaya mencapai jutaan orang.
Mereka bukan sekadar pelengkap rantai pasok, melainkan tulang punggung produksi. Namun, petani kecil masih dibayangi persoalan struktural, yaitu status lahan yang belum formal, keterbatasan akses permodalan, serta kapasitas manajemen dan teknologi yang rendah.
Tanpa intervensi yang tepat, tuntutan kelestarian justru berisiko menjadi beban baru. Karena itu, kebijakan keberlanjutan harus menyentuh kebutuhan nyata petani, mulai dari legalisasi lahan dan reformasi agraria, akses kredit dan hibah, hingga pendampingan teknologi dan keterhubungan dengan pasar.
Penguatan kelembagaan petani terbukti menjadi pintu masuk penting bagi keberlanjutan sosial. Melalui koperasi dan kelompok tani, petani mendapatkan pelatihan budidaya berkelanjutan, pencatatan kebun yang transparan, serta persiapan menuju sertifikasi organik atau Fair Trade. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga posisi tawar petani untuk masuk ke pasar premium.
Di sisi lain, kemitraan antara petani, swasta, dan pemerintah menjadi fondasi transisi menuju perkebunan berkelanjutan. Perusahaan besar dapat berperan melalui penyediaan benih unggul, akses pembiayaan, pendampingan teknis, serta skema berbagi manfaat dari praktik berkelanjutan.
Pemerintah, sebagai regulator, memastikan transisi ini berlangsung adil melalui penerapan sertifikasi secara bertahap, dukungan pembiayaan hijau, penyederhanaan perizinan, dan kepastian tata ruang.
Aspek ekonomi perkebunan berkelanjutan membentang dari peningkatan efisiensi produksi hingga penguatan hilirisasi. Selama ini, Indonesia masih banyak mengekspor bahan mentah, seperti minyak sawit mentah, kopi biji, dan kakao kakungan, sehingga nilai tambah dan penyerapan tenaga kerja di dalam negeri belum optimal.
Kebijakan hilirisasi menjadi jawaban strategis dengan mendorong produksi barang jadi bernilai tinggi, mulai dari oleokimia dan biodiesel hingga kopi olahan dan cokelat siap saji. Perkembangan industri oleokimia dan biodiesel terbukti meningkatkan devisa sekaligus memperkuat ketahanan energi nasional, seiring target produksi biodiesel yang terus ditingkatkan.
Namun, hilirisasi hanya akan berkelanjutan jika ditopang oleh pengelolaan hulu yang bertanggung jawab. Penguatan mutu dan kepastian akses pasar menjadi kunci agar sektor perkebunan benar-benar menjadi lokomotif ekonomi hijau.
Instrumen sertifikasi seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) berperan menciptakan standar lingkungan dan sosial yang seragam di seluruh rantai pasok, didukung oleh transparansi data melalui sistem ketertelusuran kebun.
Di luar sawit, sertifikasi organik dan skema keberlanjutan lainnya mulai diadopsi oleh petani kopi dan kakao untuk menembus pasar premium global yang semakin sensitif terhadap isu keberlanjutan.
Dari sisi struktural, pembiayaan hijau menjadi pengungkit penting transformasi ekonomi perkebunan. Kolaborasi pemerintah, sektor swasta, dan lembaga keuangan menghadirkan skema replanting dan insentif yang mengurangi risiko petani mengganti tanaman tua tanpa harus membuka lahan baru.
Subsidi pupuk organik, peremajaan kebun, serta wacana pemberian harga premium bagi produk bersertifikat bebas deforestasi memperkuat insentif ekonomi di tingkat tapak. Pada level makro, sinergi regulasi dan pendekatan pasar, melalui tata ruang terpadu, sistem sertifikasi komprehensif, dan perjanjian dagang, menjadikan komoditas perkebunan Indonesia lebih berdaya saing dan lestari.
Tugas besar merawat sektor perkebunan yang lestari tidak dapat dijalankan secara sepihak. Pemerintah memegang peran sentral melalui fungsi regulatif dan fasilitatif yang konsisten, mulai dari penegakan kewajiban AMDAL, kepatuhan tata ruang, hingga larangan konversi kawasan hutan di luar peruntukan.
Penegakan hukum terhadap praktik ilegal harus berjalan tegas, namun tetap diimbangi pendekatan kolaboratif akademisi, lembaga riset, LSM, dan petani. Bersamaan dengan itu, perluasan pembiayaan ramah lingkungan, pemanfaatan inovasi teknologi, serta penggunaan data spasial menjadi kunci agar setiap kebijakan berbasis bukti, transparan, dan akuntabel.
Di sisi lain, sektor swasta dan masyarakat sipil memegang peran pelengkap yang penting. Perusahaan dituntut menjadikan standar keberlanjutan sebagai inti strategi bisnis melalui sertifikasi, tata kelola rantai pasok yang bertanggung jawab, serta pembinaan petani mitra lewat penyediaan benih unggul, pelatihan, dan dukungan pembiayaan peremajaan kebun.
Peran LSM dan komunitas lokal sebagai pemantau dan pendamping memastikan standar tersebut benar-benar diterapkan di lapangan. Meski tantangan seperti konflik lahan, praktik ilegal, dan fluktuasi harga komoditas masih ada, kombinasi penegakan hukum, insentif positif, inovasi pembiayaan, dan pendekatan lanskap telah menunjukkan hasil nyata.
Dengan transparansi data, perizinan digital, dan dukungan skema internasional, perkebunan lestari bukan sekadar wacana, melainkan investasi jangka panjang bagi daya saing ekonomi sekaligus kelestarian lingkungan Indonesia.
***
*) Oleh : Kuntoro Boga Andri, Direktur Hilirisasi Hasil Perkebunan, Kementerian Pertanian.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |