TIMES JAKARTA, JAKARTA – Salah satu persoalan dalam kebijakan Koperasi Desa Merah Putih (KDMP) yang menjadi sorotan adalah dukungan pengembalian pinjaman. Kebijakan ini diatur dalam Peraturan Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Peremendes PDT) No. 10 Tahun 2025. Pada pasal 4 ayat (4), dukungan diberikan paling banyak 30% dari pagu Dana Desa per tahun.
Sebagai ujung tombak fiskal kebijakan ini tentu memiliki resiko dimana ruang rekognisi fiskal akan semakin menyempit. Artinya pemerintah Desa/Masyarakat Desa tidak akan dapat menginisiasi banyak program yang mungkin dirasa penting untuk dijalankan. Namun pada dasarnya jumlah fiskal tetaplah sama, hanya saja arah dan cara penyalurannya berbeda.
Selain itu, proses pengambilan kebijakan yang bersifat top-down juga menimbulkan kekhawatiran terhadap gagalnya KDMP. Tujuan KDMP tentu untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan instrumen lembaga dan modal. Namun, sudahkah masyarakat mengartikan kebijakan KDMP bukan sebagai bentuk bantuan sosial? (Al Habsy, 2025).
Pertanyaan ini tentu belum memiliki jawaban pasti, karena belum ada data empiris yang bisa diambil. Namun banyak analisis secara teoritis mengkhawatirkan hal itu terjadi. Bahkan pertanyaan yang lebih mendasar seperti “apakah KDMP itu memang ada atau hanya sekedar ada di atas kertas?” tidak dapat dielakkan melihat kebijakan dilaksanakan secara top-down dalam waktu yang cukup singkat.
Namun terlepas dari itu, agunan KDMP dari pagu Dana Desa memberikan secercah harapan dari sudut pandang sistem ekonomi pasar. Pertanyaan utama dalam tulisan ini dalam konteks agunan KDMP apakah kebijakan tersebut merupakan bentuk dari paradigma diskriminasi ekonomi?
Economic Discrimination (ED) atau diskriminasi ekonomi merupakan sebuah paradigma pembangunan ekonomi. Paradigma ini dilihat dari hukum pasar bahwa konsumen hanya akan memilih barang dan jasa yang sesuai dengan selera (terbaik), konsekuensinya produsen dengan kinerja baik akan lebih populer dan kaya (Jwa, 2018).
Lebih lanjut (Jwa, 2018) menjelaskan diskriminasi yang dimaksud tentu berbasis pada kinerja, pembangunan tidak akan terjadi tanpa konsentrasi sumber daya pada individu/badan yang memiliki kinerja baik sebagai hasil kerja keras mereka. Oleh karena itu, ED dalam pasar adalah pendorong individu/badan untuk bekerja keras dan meningkatkan kinerja dengan ancaman tertinggal akibat ketimpangan ekonomi.
Paradigma ini sering kali bertolak belakang dengan banyak kebijakan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Kebijakan di negara berkembang umumnya memiliki ideologi kebijakan yang bersifat egalitarianism, artinya berorientasi pada pemerataan tanpa adanya diskriminasi atau penilaian berbasis kinerja.
Pembangunan ekonomi mesti bersifat aktif dari masyarakat, sebagaimana surah Ar-Ra,d ayat 11 “Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mengubahnya”. Paradigma ED mestinya menjadi dasar kebijakan agar semua individu/badan berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan kinerja agar menjadi pilihan.
Dukungan pengembalian pinjaman yang berasal dari pagu Dana Desa dilaksanakan dalam hal dana pembayaran pinjaman tidak mencukupi. Skema ini menunjukkan bahwa rokognisi fiskal menyempit hingga 30% hanya terjadi apabila KDMP mengalami gagal bayar. Artinya kekhawatiran itu akan ditentukan oleh kinerja KDMP di masing-masing Desa.
Sekilas skema agunan KDMP menggunakan prinsip ED, “sistem insentif yang menjamin penghargaan sesuai hasil”. Dimana modal KDMP yang diberikan berbanding lurus dengan hasil dari penggunaan modal, artinya yang memperoleh modal secara cuma-cuma (tambahan anggaran Desa dalam bentuk modal usaha) hanya yang berkinerja baik.
Sebaliknya, Desa atau KDMP yang memiliki kinerja rendah akan mendapatkan konsekuensi berupa pemotongan (pengalihan untuk dukungan pengembalian pinjaman) pagu Dana Desa yang berarti rekognisi fiskal menyempit. Kondisi ini akan memaksa setidaknya perangkat Desa agar bekerja keras karena sadar ada konsekuensi yang akan ditanggung apabila kinerja KDMP tidak baik.
Semaul Undong (SMU) adalah contoh kebijakan Pembangunan ekonomi dengan paradigma ED yang berhasil. Skema ED dilakukan beberapa tahap, pertama infrastruktur melalui penyediaan bahan baku semen dan besi untuk seluruh Desa. Hasil evaluasi menunjukkan dari 34.000 Desa 16.000 diantaranya memiliki kinerja baik, selebihnya 18.000 Desa memiliki kinerja rendah (Jwa, 2018).
Tahap kedua industrialisasi Desa, dukungan hanya diberikan untuk 16.000 Desa berkinerja baik berupa subsidi 1 juta KWR (mata uang Korea). Skema ini memaksa Desa dengan kinerja rendah untuk merubah nasibnya sendiri tanpa dukungan sebelum mereka tertinggal dalam ketimpangan ekonomi.
Kebijakan KDMP disisi lain memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan SMU meskipun sekilas telah menggunakan prinsip ED. Pertama skema subsidi silang antara modal KDMP dan pagu Dana Desa, diskriminasi ekonomi dengan skema ini butuh perhatian mendalam untuk masyarakat dapat merasakan dan memahaminya.
Konsekuensinya meskipun KDMP gagal, pengurus dan masyarakat belum tentu merasakan hukuman dari kinerja buruk mereka. Untuk memahami kondisi itu, mereka perlu memperhatikan penggunaan pagu Dana Desa secara mendalam. Sialnya, di Desa yang sedari awal masyarakatnya tidak merasakan manfaat langsung penggunaan Dana Desa, diskriminasi itu tidak akan dirasakan, karena tidak ada perubahan signifikan bagi masyarakat.
Faktor lainnya yaitu skema agunan KDMP yang memiliki tenor bervariasi hingga 6 tahun. Jika dibandingkan dengan SMU, maka KDMP akan kebingungan dalam menentukan periodik evaluasi penilaian kinerja. Konsekuensinya penilaian tidak bisa dikontrol dalam skala nasional sehingga KDMP menitikberatkan penilaian pada tingkat lokal.
Merujuk pada SMU, skema tahapan dukungan berbasis kinerja memiliki kejelasan dalam periodik penilaian. Dengan itu, penambahan dukungan ditentukan oleh hasil kinerja dan diberikan secara bertahap. Namun dalam konteks KDMP pemberian bantuan tidak bertahap tetapi berdasarkan limit dan kemampuan Desa dilihat dari ketersediaan DanaDesa.
Sekema ini tentu memunculkan kondisi yang berbeda, atau dapat dikatakan KDMP merupakan kebijakan semi-ED. Artinya skema semi diskriminasi ekonomi dalam agunan KDMP tersebut tidak dilakukan secara gamblang sebagaimana dalam skema SMU yang mendiskriminasi Desa dengan kinerja rendah.
Sekilas KDMP sudah menerapkan paradigma ED, namun belum ada jaminan paradigma ED dalam KDMP akan mampu membangun motivasi dan etos kerja dari masyarakat Desa. Namun setidaknya skema kebijakan tersebut pasti akan memberikan peringatan tersendiri bagi perangkat Desa atau seminimalnya Kepala Desa.
Setidaknya ini menjadi harapan, karena melalui skema ED seluruh Kepala Desa akan dipaksa mencari Solusi sendiri untuk menjaga fiskal Desanya dari potongan dukungan pengembalian pinjaman. Kuncinya ada pada kepemimpinan tingkat Desa karena tidak ada jaminan skema ED dalam agunan KDMP menjadi pendorong langsung bagi Masyarakat untuk meningkatkan kinerjanya.
Keterbatasan itu hanya akan mampu dijawab apabila kepemimpinan di tingkat Desa mampu membangun kesepahaman dengan pengurus KDMP dan seluruh Masyarakat Desa. Artinya diskriminasi ekonomi tadi harus dirasakan juga oleh pengurus KDMP dan seluruh masyarakat Desa bukan hanya Kepala Desa dan perangkat Desa saja.
***
*) Oleh : M. Hafiz Al Habsy, Co-Founder Hatta Aksara Project.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |