TIMES JAKARTA, JAKARTA – Indonesia tengah memasuki babak baru dalam arah kebijakan pertahanannya. Gagasan pertahanan total menjadi semangat baru di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Konsep ini berupaya melibatkan seluruh elemen bangsa secara proporsional dalam menjaga kedaulatan negara sebuah strategi yang tampak rasional di tengah meningkatnya ketegangan politik global dan perlombaan kekuatan militer dunia.
Di balik idealisme tersebut, pemerintah perlu berhati-hati. Pembangunan sistem pertahanan besar-besaran bukan hanya urusan taktis, tetapi juga politis. Ia menyentuh ranah sensitif: transparansi anggaran, keseimbangan sipil-militer, dan kesinambungan nilai-nilai demokrasi. Sebab, yang sering menimbulkan persoalan bukanlah niat membangun pertahanan, melainkan cara dan mekanisme pelaksanaannya.
Secara historis, ide pertahanan total bukan hal baru. Ia berakar dari konsep Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata) sebuah doktrin lama yang menempatkan rakyat sebagai bagian integral dari sistem pertahanan negara.
Bedanya, konteks hari ini adalah demokrasi terbuka, bukan masa mobilisasi politik seperti era sebelumnya. Tantangan terbesar kini adalah bagaimana menghadirkan pertahanan total tanpa menghidupkan kembali bayangan dominasi militer dalam ruang sipil.
Wakil Menteri Pertahanan pernah menyampaikan bahwa anggaran pertahanan tahun 2025 mencapai Rp165,16 triliun. Namun, audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menunjukkan sebagian besar anggaran itu bersifat rahasia. Publik pun mulai bertanya: sejauh mana transparansi anggaran ini dapat dipertanggungjawabkan?
Kerahasiaan dalam dunia pertahanan memang diperlukan, tetapi bukan berarti meniadakan prinsip akuntabilitas. Dalam negara demokratis, kekuatan pertahanan tidak semestinya berdiri di atas dinding kerahasiaan yang menutup ruang kritik.
Justru sebaliknya, keterbukaan adalah fondasi dari kepercayaan rakyat. Negara-negara modern telah membuktikan bahwa transparansi dalam sektor pertahanan tidak melemahkan stabilitas nasional ia justru memperkuat legitimasi publik dan meningkatkan rasa percaya terhadap institusi militer.
Demokrasi akan kehilangan maknanya ketika logika keamanan dijadikan tembok pembatas antara pemerintah dan rakyat. Keterbukaan anggaran, evaluasi penggunaan dana, serta mekanisme pengawasan DPR bukanlah hambatan bagi efektivitas pertahanan, tetapi bagian penting dari sistem demokrasi yang sehat.
Konsep pertahanan total mengandaikan kolaborasi antara militer dan sipil dalam menghadapi ancaman multidimensi: mulai dari perang siber hingga bencana alam.
Dalam praktiknya, konsep ini kerap dibaca secara vertikal. Negara sebagai pengendali, rakyat sebagai objek. Padahal, semangat pertahanan total justru terletak pada partisipasi rakyat yang sejajar dan sadar, bukan pada subordinasi terhadap struktur komando militer.
Risiko yang perlu diwaspadai ialah politisasi pertahanan. Ketika militer mulai mengambil peran dominan dalam sektor-sektor sipil, maka keseimbangan demokrasi akan terganggu.
Keterlibatan militer harus dibatasi pada ranah profesional, sementara rakyat diberi ruang dalam fungsi pengawasan, edukasi, dan kesiapsiagaan. Pertahanan yang kuat tidak selalu identik dengan ekspansi militer, melainkan dengan kemampuan negara mengelola sumber daya secara adil dan transparan.
Menjaga Ruang Demokrasi Tetap Terbuka
Kekuatan negara tidak lahir dari kontrol, melainkan dari kepercayaan. Ketika kebijakan dijalankan tanpa partisipasi rakyat, negara justru sedang membangun tembok pemisah dengan warganya sendiri.
Pertahanan yang baik bukan sekadar memiliki senjata modern, tetapi juga menumbuhkan rasa percaya bahwa semua kebijakan dijalankan untuk kepentingan bersama.
Arah kebijakan pertahanan total akan menjadi ujian penting bagi pemerintahan saat ini. Apakah pertahanan dapat diperkuat tanpa mereduksi ruang sipil? Apakah transparansi dapat dijaga tanpa mengorbankan keamanan strategis? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan wajah demokrasi Indonesia ke depan.
Pertahanan bukan hanya urusan senjata, strategi, dan kekuasaan, melainkan tentang nilai, kepercayaan, dan keterlibatan rakyat. Jika pertahanan total dijalankan sebagai kolaborasi jujur antara pemerintah dan warga negara.
Maka stabilitas nasional tidak akan menjadi ancaman bagi demokrasi. Sebaliknya, ia akan menjadi pelindung bagi cita-cita kemerdekaan yang sejati yakni kedaulatan yang tumbuh dari kekuatan rakyat sendiri.
***
*) Oleh : Muh. Asdar Prabowo, Mahasiswa Magister Strategi Perang Semesta, Fakultas Strategi Pertahanan, Universitas Pertahanan Republik Indonesia.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |