https://jakarta.times.co.id/
Opini

Jalan Mengakhiri Polarisasi PBNU

Kamis, 11 Desember 2025 - 15:30
Jalan Mengakhiri Polarisasi PBNU Ali Mursyid Azisi, M.Ag., Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI), Pengamat Sosial-Politik, Penulis Buku “Melawan Radikalisme Agama, 2024”.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Goncangan di tubuh Nahdlatul Ulama (NU), kini mencapai titik didih yang memantik kegelisahan di akar rumput. Polemik struktural, yang awalnya tampak remeh, kini menjelma menjadi isu serius tentang kepemimpinan, ketaatan, dan nasib masa depan organisasi. 

Nahdliyin di ranting-ranting, yang selama ini khusyuk mengamalkan tradisi, dihadapkan pada kenyataan pahit, yaitu polarisasi elit NU yang merobek tenun kebersamaan berjam’iyah.

Konflik ini bersumbu pada SK pemakzulan KH. Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) sebagai Ketua Umum PBNU, berdasarkan keputusan rapat Syuriah (yang notabene adalah representasi kolektif para Kiai sepuh). 

Sebagai dewan tertinggi yang memegang otoritas keagamaan dan penentu kebijakan fundamental, Syuriah menilai adanya pelanggaran berat kepemimpinan Gus Yahya terhadap ketentuan organisasi. 

Namun, Gus Yahya menolak putusan tersebut. Dengan dalih melanjutkan mandat Muktamar dan menilai prosesnya tidak sesuai ketentuan baku (AD/ART). Alhasil, ia memilih bertahan dan melakukan manuver balasan. 

Puncak dinamika konflik ini adalah munculnya dua fusi kepengurusan. Kubu Syuriah (Rais Aam) PBNU mengambil langkah tegas melalui pleno pada 9 Desember 2025 di Hotel Sultan, Jakarta, yang kemudian menetapkan KH. Zulfa Musthofa sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PBNU. 

Langkah ini lantas melahirkan julukan "Kelompok Sultan". Tak mau kalah, kubu Gus Yahya juga berencana menggelar pleno tandingan di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, yang kemudian dicap sebagai "Kelompok Kramat". Narasi polarisasi yang dipopulerkan oleh media NU Online ini, semakin mempertegas keretakan internal semakin menjadi.

Polarisasi ini bukan sekadar rebutan kursi, melainkan refleksi dari sebuah krisis legitimasi yang akut. Dalam terminologi sosiologi organisasi, kita menyaksikan apa yang disebut sebagai schismogenesis, yakni proses terbentuknya perpecahan internal akibat perbedaan interpretasi terhadap aturan dan kekuasaan. 

Kubu yang disebut "Sultan" berpegang pada kedaulatan Syuriah sebagai dewan tertinggi, sementara Kubu "Keramat" berargumen tentang validitas prosedur dan mandat struktural dari Muktamar.

Wibawa Kiai dan Kekeramatan NU

Di tengah kebisingan politik internal, suara hati Nahdliyin akar rumput menggugat: Di mana letak kekeramatan NU sesungguhnya? Jawabannya terukir jelas: Syuriah, ketaatan terhadap Kiai dan aturan organisasi yang berlaku.

Di sinilah letak sentral peran Kiai dan Syuriah. Dalam tradisi NU, Syuriah memiliki posisi tertinggi dan berwenang menentukan kebijakan keagamaan serta menjaga muruah organisasi. Keputusan Syuriah PBNU yang termaktub dalam SK sejatinya mewakili suara para Kiai di seluruh wilayah.

Kekeramatan NU bukan terletak pada fisik gedung atau kekuasaan struktural, melainkan pada ketaatan terhadap ketentuan organisasi dan bimbingan Kiai NU. Penetapan Kiai Zulfa sebagai Plt Ketum dapat dilihat sebagai titik balik yang potensial untuk bersatu kembali ke khittah NU. 

Langkah Syuriah ini, terlepas dari perdebatan legal formal AD/ART, barangkali merupakan upaya menyelamatkan NU dari serangkaian dugaan blunder kepemimpinan sebelumnya. 

Dugaan tersebut mencakup isu inkonsistensi visi global (mengundang akademisi pro Zionis di forum AKN NU), kegagalan mengorkestrasi jargon “menghidupkan Gus Dur”, hingga sengkarut tata Kelola tambang tambang dan keuangan yang jika merujuk ketentuan UU berpotensi mengancam pembubaran perkumpulan. 

Posisi Kiai dalam Syuriah, yang tertuang dalam Surat Keputusan (SK) kepengurusan, bukan sekadar jabatan administratif, melainkan representasi dari keseluruhan Kiai di setiap wilayah. 

Meski menyandang supreme body, keputusan Syuriah atas hasil pleno tersebut tetap memiliki efek domino. 

Ke depan, kejadian serupa berpotensi terulang, fungsi ketentuan organisasi dipertanyakan, dan sakralitas posisi Kiai pun bisa dimanuver oleh kalangan santri. Semoga ini hanya dugaan liar, tidak betul terjadi. 

Termasuk pula anggapan “melanggar putusan Syuriah sama artinya dengan merusak hierarki spiritual dan kelembagaan yang menjadi fondasi NU”, itu tidak sepenuhnya dipandang absolut. Sebab, masih banyak Kiai Sepuh (Khos) yang keramat sekaligus mampu memberikan solusi atas polemik ke-NU-an. Ini uniknya NU. 

Begitu pula kubu Tanfidziah yang berusaha melakukan manuver. Jika tindakan seperti ini dipertontonkan di pucuk tertinggi organisasi, maka jangan salahkan jika kasus serupa menjamur di berbagai tingkatan struktural NU. 

Keputusan hasil pleno (terlepas dari segala pro-kontra proseduralnya), harus dilihat sebagai upaya titik balik untuk mengembalikan NU pada khittahnya. Rapat tersebut adalah upaya Syuriah untuk menarik kembali kemudi organisasi yang dinilai mulai oleng dari pakemnya.

Dari sudut pandang keislaman, fusi ini secara fundamental bertentangan dengan prinsip-prinsip ukhuwah (persaudaraan) yang selama ini diusung NU; ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama Muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sebangsa), ukhuwah insaniyah (persaudaraan sesama manusia), dan yang terpenting dalam konteks ini yaitu ukhuwah jam'iyah (persaudaraan dalam organisasi). Adanya dua kubu elit politik NU mencederai keempat ukhuwah ini dan menjauhkan jam’iyah dari fokus utamanya.

Para pendahulu NU mengajarkan bahwa berorganisasi adalah jalan dakwah, bukan jalan perebutan kekuasaan. Ketika ghirah (semangat) berorganisasi didominasi oleh nafsu politik, maka yang terjadi adalah hilangnya barakah (keberkahan) dan kekeramatan itu sendiri. 

Maka, jalan keluar yang ideal seharusnya adalah kembali pada etika kepatuhan tertinggi kepada syuriah, menaati ketentuan organisasi, dan menyelesaikan konflik dengan musyawarah. Sekali lagi, ini idealnya. 

Pleno Syuriah di Hotel Sultan harus dimaknai bukan sebagai kudeta politik, melainkan sebagai penegasan kedaulatan spiritual dan hukum organisasi. Upaya demikian adalah panggilan untuk semua pihak, baik Kelompok Sultan maupun Kelompok Keramat, untuk menanggalkan ego dan kembali bersatu di bawah payung Ahlussunnah wal Jama'ah yang diwakili oleh Syuriah PBNU.

Kegelisahan Nahdliyin di akar rumput hanya akan sirna jika para pemimpin di tingkat pusat menunjukkan ketaatan struktural dan kerendahan hati spiritual. Jika tidak, NU akan terus didera oleh polarisasi tanpa ujung, yang pada akhirnya merugikan umat dan bangsa.

Terlepas dari konflik yang berkepanjangan, di lain sisi bangsa ini terlampau sakit ditimpa berbagai problem horizontal. Mulai bencana banjir bandang, deforestasi (penebangan liar), eksploitasi tambang berlebihan, dan berbagai problem kemanusiaan. 

Seharusnya NU dengan jumlah pengikutnya yang kini mencapai 57,6 persen tidak hanya fokus terkurung pada konflik internal, namun kehadiran aksi kemanusiaannya sangat ditunggu ratusan ribu saudara sebangsa di Aceh dan sekitarnya.

Sekali lagi, mari sudahi konflik internal ini dan saatnya NU kembali menjadi penyeimbang bangsa. Selain mengingatkan untuk habl min Allah dan habl min al-nass, NU memiliki kewajiban utama untuk selalu mengingatkan untuk meresapi makna habl min al-alam (menjaga keseimbangan alam dan isinya). Mari bersama merenung, apa kontribusi nyata NU atas bencana alam yang mencekam ini.  

***

*) Oleh : Ali Mursyid Azisi, M.Ag., Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI), Pengamat Sosial-Politik, Penulis Buku “Melawan Radikalisme Agama, 2024”.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.