TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kementerian PANRB baru saja merilis arah transformasi birokrasi 2025–2045, sebuah visi jangka panjang yang memuat lima fokus utama: transformasi digital, talenta berkinerja tinggi, budaya beretika dan inovatif, organisasi yang agile, serta pelayanan publik yang berkualitas dan inklusif.
Sekilas, semua ini tampak ideal. Namun persoalannya bukan pada rumusannya melainkan pada apakah birokrasi kita memiliki fondasi politik, institusional, dan budaya organisasi yang mampu membuatnya benar-benar terjadi.
Pengalaman dua dekade reformasi menunjukkan satu pola berulang: dokumen kebijakan bergerak jauh lebih cepat dari perubahan lapangan. Kita kerap menghasilkan rancangan besar, tetapi implementasi terhambat oleh ketimpangan kapasitas, kultur kerja yang rigid, serta insentif birokrasi yang belum sinkron dengan orientasi pelayanan.
Karena itu, arah transformasi 2025–2045 hanya akan berarti bila kita berani mengakui satu hal mendasar: selama tata kelola dan insentif birokrasi tidak diubah, digitalisasi dan modernisasi hanya akan mempercepat praktik lama, bukan memperbaikinya.
Dari Blueprint ke Kapasitas Negara
Francis Fukuyama (2013) mengingatkan bahwa inti pembangunan bukan hanya jenis rezim, tetapi “kualitas pemerintah” itu sendiri, apakah birokrasi mampu bertindak secara profesional, efektif, dan impersonal.
Data menunjukkan Indonesia memang bergerak naik terkait kualitas efektivitas pemerintahannya. Indeks government effectiveness Indonesia pada 2023 berada di sekitar 0,58 dan menempatkan kita di peringkat 15 se-Asia. Ini capaian yang patut diapresiasi, tetapi juga mengingatkan bahwa jalan ke 2045 masih panjang.
Pilar pertama “transformasi digital” sering diterjemahkan semata sebagai pengadaan aplikasi dan portal. Padahal literatur digital government menegaskan bahwa teknologi hanya menambah nilai bila disertai perombakan proses bisnis dan desain layanan yang berpusat pada warga.
Studi OECD tentang Digital Government Index menunjukkan, negara yang sukses bukan yang paling banyak aplikasi, melainkan yang paling matang dalam integrasi data, interoperabilitas, dan tata kelola berbasis bukti.
Lebih jauh, kajian OECD tentang dampak digital government terhadap citizen well-being menekankan konsep citizen-centricity: warga ditempatkan sebagai titik berangkat, bukan objek pasif. Tanpa itu, digitalisasi justru memperlebar jurang: kelompok yang paling rentan miskin, lansia, mereka yang jauh dari kota menjadi yang paling kesulitan mengakses layanan.
Karena itu, transformasi digital dalam agenda 2025–2045 seharusnya diterjemahkan lebih konkret: satu data administrasi kependudukan yang benar-benar digunakan lintas layanan, integrasi front office sehingga warga tidak lagi mengisi data berulang, dan adanya kanal bantuan manusia (help-desk, fasilitator) bagi mereka yang tak cukup melek digital.
Pilar kedua tentang “talenta berkinerja tinggi dan kompeten” terdengar sangat modern. Namun Merilee Grindle (2004), dalam konsep “good enough governance” mengingatkan bahwa reformasi kelembagaan di negara berkembang harus peka pada kenyataan politik: tidak semua daftar ideal bisa dilaksanakan sekaligus.
Meritokrasi ASN tidak akan tumbuh bila penempatan pejabat strategis masih sangat dipengaruhi patronase politik. Pelatihan dan sertifikasi akan berhenti sebagai ritus bila indikator kinerja tidak sungguh-sungguh menentukan promosi dan rotasi.
Di sisi lain, penelitian terbaru tentang efektivitas pemerintah Indonesia menunjukkan korelasi positif antara budaya organisasi yang sehat dengan peningkatan skor tata kelola, tetapi juga menegaskan bahwa korupsi dan lemahnya penegakan hukum tetap menjadi batu sandungan utama.
Karena itu, agenda talenta sejatinya adalah agenda politik kelembagaan: memperkuat sistem rekrutmen dan promosi berbasis merit, membatasi intervensi non-profesional, serta memberi ruang bagi ASN untuk mengambil keputusan profesional tanpa terus menerus dihantui risiko politik.
Birokrasi sebagai Infrastruktur Sosial
Melihat lima pilar yang dipromosikan digital, talenta, etika & inovasi, organisasi agile, dan layanan inklusif kita dapat membacanya sebagai desain birokrasi sebagai infrastruktur sosial. Seperti jalan dan jembatan, birokrasi yang bekerja baik menurunkan biaya transaksi warga, memperkecil ketidakpastian, dan memperluas peluang ekonomi.
Merilee Grindle (2005) menyatakan juga bahwa struktur birokrasi yang “Weberian” impersonal, meritokratik, dan terinstitusionalisasi berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Namun Weberianisme saja tidak cukup di era disrupsi.
Birokrasi perlu lentur (agile), mampu berinovasi, dan sekaligus menjaga etika publik. Ini menuntut kepemimpinan yang tidak hanya pandai merumuskan visi, tetapi juga berani mengubah insentif misalnya mengapresiasi inovasi di tingkat desa, puskesmas, dan sekolah, bukan sekadar pada level kementerian.
Akhirnya, yang paling menentukan bukan grafis indah di media sosial, melainkan pengalaman sehari-hari warga ketika berhadapan dengan negara: apakah akta kelahiran bisa diurus tanpa calo, apakah izin usaha kecil bisa diakses secara sederhana, apakah bantuan sosial benar-benar sampai ke mereka yang berhak.
Transformasi birokrasi 2025–2045 akan bermakna bila tiga hal dijaga secara konsisten. Pertama, kejujuran pada data dan bukti: indikator yang ada semoga tidak hanya sekadar dijadikan sebagai bahan pidato, tetapi dipakai untuk mengidentifikasi titik lemah dan memperbaiki kinerja lintas kementerian dan daerah.
Kedua, keterlibatan warga dalam merancang layanan melalui konsultasi publik, uji coba terbuka, maupun mekanisme umpan balik yang benar-benar ditindaklanjuti. Ketiga, keteguhan politik untuk melindungi ruang profesionalisme ASN dari tarik-menarik kepentingan jangka pendek.
Jika birokrasi kita sungguh diperlakukan sebagai infrastruktur sosial, maka setiap keputusan reformasi akan selalu kembali pada satu pertanyaan sederhana: apakah ini membuat hidup warga lebih mudah dan lebih adil? Tanpa jawaban tegas atas pertanyaan itu, visi 2045 hanya akan menjadi arsip di server, bukan perubahan yang dirasakan di ruang tunggu pelayanan.
***
*) Oleh : Fahmi Prayoga, S.E., Economist, Public Policy Analyst, and Researcher of SmartID.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |