TIMES JAKARTA, JAKARTA – Selama ini, zakat kerap dipersempit maknanya menjadi rutinitas tahunan yang hadir menjelang Idulfitri. Ia dipahami sebatas kewajiban personal, ditunaikan untuk menggugurkan rukun Islam, lalu selesai.
Padahal, sejak awal kelahirannya, zakat dirancang sebagai instrumen sosial yang kuat alat untuk menjaga keadilan, mengikis kesenjangan, dan menopang kelompok masyarakat yang paling rentan. Zakat bukan sekadar ibadah individual, melainkan fondasi solidaritas sosial.
Di Indonesia, potensi zakat sesungguhnya luar biasa besar. Data Kementerian Agama RI pada 2021 mencatat potensi zakat nasional mencapai Rp230 triliun per tahun. Angka itu terus meningkat. Rilis resmi BAZNAS per Agustus 2025 bahkan menyebutkan potensi zakat telah melampaui Rp300 triliun, dengan sejumlah kajian memproyeksikan angka hingga Rp327,6 triliun per tahun.
Namun ironi muncul ketika realisasi penghimpunannya masih jauh tertinggal dari potensi tersebut. Jarak antara potensi dan realisasi ini menunjukkan satu persoalan mendasar: zakat belum sepenuhnya menjadi kesadaran sosial bersama.
Salah satu faktor yang kerap luput dibahas adalah rendahnya literasi zakat, khususnya di kalangan Generasi Z. Banyak anak muda hanya mengenal zakat fitrah, tanpa pemahaman utuh tentang zakat maal, mekanisme distribusi, atau dampak sosial yang bisa dihasilkan. Padahal, Generasi Z adalah kelompok demografis terbesar di Indonesia.
Data BPS 2023 mencatat, penduduk kelahiran 1997–2012 mencapai hampir 28 persen populasi nasional, sekitar 75 juta jiwa. Ini bukan sekadar angka statistik, melainkan kekuatan sosial yang bisa menggerakkan perubahan besar.
Dari kegelisahan inilah gagasan Generasi Zakat menemukan relevansinya. Sebuah cara pandang baru yang mengajak Generasi Z tidak berhenti sebagai pembayar zakat, tetapi terlibat aktif sebagai bagian dari gerakan perubahan sosial. Generasi Zakat menawarkan pendekatan yang lebih segar, dekat dengan bahasa anak muda, dan sejalan dengan semangat partisipasi publik di era digital.
Ada satu pesan kunci yang ingin ditegaskan: zakat harus berdampak. Zakat tidak boleh berhenti sebagai bantuan konsumtif yang habis dalam sekejap. Ia seharusnya menjadi modal transformasi menguatkan UMKM, memperluas akses pendidikan dan kesehatan, serta mendorong kemandirian ekonomi mustahik. Spirit zakat sejatinya adalah perubahan jangka panjang, bukan sekadar menenangkan rasa iba sesaat. Di titik inilah zakat menemukan makna sosialnya yang paling dalam.
Namun dampak tidak akan lahir tanpa ketepatan. Kritik publik terhadap pengelolaan zakat sering kali berpusat pada pertanyaan sederhana namun krusial: apakah zakat benar-benar sampai kepada yang berhak? Apakah penyalurannya sesuai kebutuhan riil masyarakat? Ketepatan berarti berbasis data, transparan, dan akuntabel. Dalam konteks kemiskinan dan ketimpangan yang masih nyata, setiap rupiah dana zakat harus memiliki jejak manfaat yang jelas.
Di sinilah peran Generasi Z menjadi semakin penting. Dengan literasi digital yang tinggi dan keberanian bersuara, anak muda dapat menjadi pengawas sosial zakat watch yang menjaga amanah publik.
Pengawasan bukan untuk menumbuhkan kecurigaan, melainkan memastikan integritas. Dalam tradisi Islam, amar ma’ruf nahi munkar adalah tanggung jawab kolektif. Zakat, sebagai dana publik umat, layak diawasi secara partisipatif agar tetap bersih dan dipercaya.
Era digital telah mengubah banyak hal, termasuk cara menunaikan zakat. Aplikasi dan platform daring memudahkan pembayaran hanya dengan beberapa sentuhan layar. Namun kemudahan ini harus dibarengi dengan transparansi dan literasi.
Tanpa itu, kepercayaan publik akan rapuh. Generasi Z bisa memainkan peran strategis sebagai jembatan: mengedukasi sesama, mengawal distribusi, sekaligus menjadi mitra kritis lembaga zakat agar terus berbenah.
Generasi Zakat, pada akhirnya, bukan sekadar nama atau slogan. Ia adalah undangan terbuka bagi anak muda untuk mengambil peran lebih besar dalam merawat perubahan sosial. Menjadikan zakat sebagai gerakan, bukan ritual semata.
Memastikan penyalurannya tepat sasaran, sekaligus menjaga pengelolaannya tetap transparan dan akuntabel. Zakat bukan milik lembaga tertentu, melainkan milik publik yang percaya bahwa keadilan sosial bisa dirawat melalui solidaritas.
Jika Generasi Z mau turun tangan, zakat tidak lagi hanya hadir setahun sekali. Ia akan hidup sebagai energi perubahan mengalir, memberdayakan, dan membangun masyarakat yang lebih adil dan berkeadaban.
***
*) Oleh : Siti Mahmudah, Pengurus Harian Bendahara Bidang Media, Komunikasi dan Informasi KOPRI PB PMII Masa Khidmat 2024-2027.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |